Distorsi Undang-Undang TNI: Sebuah Elegi tentang Kuasa dan Waktu

Distorsi Undang-Undang TNI: Sebuah Elegi tentang Kuasa dan Waktu

Disuatu negeri yang kerap dirundung bayang-bayang sejarah, hukum adalah kitab suci yang terus ditafsir ulang. Ia terukir dalam lembaran kertas, namun ditekuk-tekuk oleh tangan yang tak tampak, seperti angin yang mengubah arah nyala api tanpa perlu menunjukkan wujudnya.

Undang-Undang TNI, pernah menjadi janji tentang tentara yang kembali ke barak, tentang demokrasi yang tak lagi dihantui sepatu lars di atas panggung politik. Tapi waktu adalah penulis ulung yang gemar bermain ironi. Dimana, ia mengizinkan aturan itu hidup, sembari membiarkan kepentingan menjamahnya perlahan-lahan, mengguratkan distorsi di antara pasal-pasalnya.

Bacaan Lainnya

Mula-mula, ia hanya retak kecil, seperti celah di dinding tua yang tampak sepele. Tetapi retak itu menganga setiap kali sejarah bergulir. Dengan alasan menjaga stabilitas, seragam hijau mulai kembali menapaki ruang-ruang yang dulu ditinggalkan. Penugasan non militer, yang dulu dikebiri demi supremasi sipil, kini menjelma menjadi jalan pulang.

Tangan-tangan kekuasaan berbisik bahwa ini demi negara, demi rakyat. Tetapi di balik narasi luhur itu, ada kepentingan yang menyelinap seperti bayangan di koridor kekuasaan. Ada kursi-kursi yang diduduki, ada jabatan yang dipertahankan, ada benang merah yang menghubungkan hari ini dengan masa lalu yang katanya telah dikubur.

Dan hukum, ia hanya bisa diam dalam kerangka teksnya. Sebab hukum tak pernah benar-benar bicara. Ia hanya bergema dalam suara mereka yang menafsirkannya.

Lalu, di mana ujung dari semua ini? Apakah distorsi akan terus berlanjut, menjadikan hukum tak lebih dari sekadar mantra yang diulang-ulang tanpa makna? Atau, akan datang suatu hari di mana sejarah kembali meluruskan dirinya sendiri?

Tak ada yang tahu. Yang pasti, di negeri ini, hukum selalu diuji oleh waktu, dan waktu selalu berpihak pada mereka yang mengerti cara bermain dengannya.

Foto: Tendy (MP Nasional)

Pos terkait