Purwakarta, KPonline – Mendekati masa-masa akhir tahun 2024, kelas pekerja atau kaum buruh harap-harap cemas prihal upah mereka di tahun 2025.
Bagaimana tidak, kalau penetapan upah minimum provinsi (UMP) untuk 2025 itu masih terpaku dengan formula yang mengacu kepada PP No. 51/2023, maka dipastikan, upahnya pasti akan tidak sesuai dengan standarisasi hidup layak.
Dan itu berkaca dari UMP 2024 yang secara rata-rata hanya naik sekitar 1-2 persen dibalik inflasi di atas 3 persen, dan bahkan kenaikan upah 1-2 persen itu sebetulnya tidak sebanding dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengalami kenaikan sebesar 30 persen.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Sebagai contoh adalah di wilayah Jabodetabek, inflasi mencapai 2,8 persen, namun kenaikan upah hanya 1,58 persen. Ini artinya buruh nombok setiap bulan.
“Dalam beberapa tahun ini, kenaikan upah yang terjadi tidak menutup inflasi, sehingga daya beli buruh terus menurun,” ujar Said Iqbal.
Meskipun secara nominal upah mengalami kenaikan setiap tahun, Iqbal menyebut kenyataannya upah riil buruh terus menurun. Dalam sepuluh tahun terakhir, Said Iqbal menjelaskan bahwa upah riil buruh turun sekitar 30 persen. Upah riil adalah upah nominal yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen.
“Kenaikan harga barang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah nominal, sehingga buruh terus terbebani dan daya beli mereka merosot tajam,” katanya.
Kesimpulannya, prihal upah minimum, (Omnibuslaw) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang telah menyebabkan ketidakadilan bagi kelas pekerja atau kaum buruh terkait upah minimum.
“Efek liar” nya yaitu mampu menciptakan aturan turunan (PP No. 51/2023), yang mampu menekan laju nilai kenaikan/ nilai upah minimum buruh .
Dahulu sebelum Jokowi membuat kebijakan upah, kaum buruh atau kelas pekerja merasakan kenaikan upah yang mungkin sesuai dengan harapan.
Puncaknya, pada tahun 2013 kenaikan upah mencapai rata-rata sebesar 18,32 persen. Bahkan, DKI Jakarta pada tahun 2013 mengalami kenaikan upah sebesar 43,87 persen, yaitu dari Rp 1.529.150 menjadi Rp 2.200.000.-