Jakarta, KPonline – Ahli pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa, dalam persidangan judicial review UU Pengampunan Pajak (Tax Amensty) secara khusus menyoroti Pasal 20 UU Tax Amnesty.
Adapun rumusan dari pasal tersebut adalah sebagai berikut: Data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampiranya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang ini, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidian, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Menurut Eva, ketentuan ini menurut saya sesungguhnya memiliki dampak yang luas. Bukan hanya dalam penegakan hukum di bidang perpajakan saja, tetapi penegakan hukum pidana secara keseluruhan.
Harus disadari bahwa penegakan hukum di bidang perpajakan merupakan penegakan hukum di bidang administrasi atau yang kita kenal sebagai administrative penal law karena Undang-Undang Pajak adalah undang-undang administratif yang bersanksi pidana.
Tujuan dari penegakan hukum pajak adalah untuk mendapatkan atau untuk memberikan pendapatan negara secara maksimal dari sektor pajak. Hal ini menjadi berbeda kalau kita melihat kepada kepentingan hukum, terutama dikaitkan dengan tujuan penegakan hukum pidana, yaitu menjaga ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat secara luas.
Dalam konteks kebijakan tentang tax amnesty ini, maka hal ini dapat dimaklumi. Dalam pengertian bahwa adanya batasan kewenangan penuntutan oleh jaksa penuntut umum terhadap penegakan hukum di bidang perpajakan bukan merupakan hal yang baru. Mengapa bukan hal yang baru? Filosofi ini kalau kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak, pada dasarnya sudah memberikan jalan adanya mekanisme administratif yang menyebabkan kewenangan penyidikan menjadi hapus, yaitu manakala dengan iktikad baik wajib pajak dan dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya disertai dengan pembayaran denda dan pelunasan.
Dalam artian bahwa kebijakan untuk menghapus kewenangan penuntutan sudah ada pada undang-undang sebelumnya. Ini bukan norma baru.
Tetapi yang menjadi masalah di sini adalah pada frasa bahwa dokumen atau lampirannya tidak dapat menjadi dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana.
“Saya tegaskan sekali lagi, penuntutan pidana. Bukan penuntutan pidana di bidang perpajakan,” tegas Eva. Lebih lanjut dia mengatakan, “Saya harus kasih highlight di situ, saya harus kasih catatan besar di situ. Frasa ini akan berdampak kepada pemahaman seolah-olah ketentuan Pasal 20 ini menjadi sesuatu dasar penghapus penuntutan bukan hanya untuk tindak pidana di bidang perpajakan, tapi juga implikasinya kepada ranah kewenangan, penuntutan, penyelidikan, penyidikan di dalam tindak pidana lainnya.”
Kalau kita baca atau kita pahami dokumen-dokumen pajak atau lampirannya, bayangan saya akan tergambar pada kita, ini bukan hanya dokumen-dokumen seperti SKPT dan lain sebagainya. Barangkali terkait dengan izin usaha, terkait dengan katakanlah invoice, terkait dengan perjanjian. Oleh karena itu, kalau ketentuan ini kita pertahankan, maka akan menjadi kesulitan bagi penyelidik, penyidik, maupun penuntut umum manakala ada satu tindak pidana, apakah itu tindak pidana umum Pasal 263, Pasal 264, Pasal 265.
Tetapi tidak hanya itu, dokumen lainnya menjadi sulit dilakukan karena dikatakan tidak dapat dilakukan penuntutan. Atau kita kaitkan dengan tindak pidana yang lebih berat, korupsi, money laundry (pencucian uang), illegal fishing, illegal logging, tindak pidana pertambangan, atau tindak pidana lainnya juga akan terkendala dengan adanya ketentuan ini.
Dengan kata lain, satu alat bukti, yaitu alat bukti surat yang sudah dijadikan lampiran di dalam dokumen tax amnesty tidak lagi bisa digunakan sebagai alat bukti. Implikasinya akan sampai ke sana. Bahkan, implikasinya kepada yang tadi saya katakan, ini akan menjadi seolah-olah dasar penghapus penuntutan karena kendala di bidang administratif terutama adalah kepada alat bukti surat yang menjadi andalan utama.
Untuk itu, Eva meminta Pasal 20 UU Tax Amensty dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang unconstitutional conditions.
“Mohon kiranya dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim mengenai implikasi dari ketentuan ini dan menjadi kewenangan kiranya dari Majelis Hakim untuk mempertimbangkan keberlakuan atas ketentuan ini yang kalau menurut saya, sebetulnya ketentuan ini tidak perlu ada,” pungkasnya. (*)
Foto: Kompas