Surabaya KPonline,- Bertempat di Kantor LBH Surabaya di Jalan Kidal no 6, pada hari ini Jumat 2/10/2020,Gerakan Tolak Omnibuslaw Jawa Timur (Getol Jatim) mengadakan Konferensi Pers Pernyataan Sikap GETOL JATIM dalam rangka menyikapi pembahasan Omnibuslaw yang sudah pada “tingkat 2”.
Di pimpin oleh Ketua Bidang Perburuhan dan Rakyat miskin kota LBH Surabaya,Habibus Shalihin.Berikut isi pernyataan sikap dari GETOL JATIM :
Belakangan kita tahu suara pengesahan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja selanjutnya disebut RUU Ciker semakin kencang. Meski sudah diprotes berkali-kali, diingatkan berkall-kali dan diancam berkali-kali oleh rakyat, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan yang berkolaborasi dengan eksekutif tetap ngotot ingin mengesahkan Rancangan undang-undang yang bermasalah tersebut.
Pembahasan RUU Ciker yang terburu-buru hingga melupakan substansi pokok, bahwa adanya
RUU Ciker itu harus memenuhi asas partisipasi dan kondisi faktual rakyat saat ini. Serta
sebelumnya tidak ada kajian mendalam di semua kluster, mengapa memilih model penyatuan
aturan yang sebenarnya tidak terlalu sinkron, kecuali aturan yang ditumpuk seolah-olah
berkaitan. Padahal yang dibutuhkan adalah mendengarkan suara rakyat, evaluasi aturan yang
ada dan sinkronisasi dengan aturan lainnya.
Karena problem di Indonesia yang merugikan rakyat adalah birokrasi yang berbelit, serta tidak
sinkron. Selain itu problem utama mengapa tata aturan di Indonesia tidak pro keadilan adalah
sang empunya aturan bukan menyuarakan suara mayoritas tapi hanya segelintir elite penguasa
(Oligarki).
Mengenai substansi, RUU Ciker ini banyak merugikan rakyat, salah satunya kluster tenaga
kerja yang menyalip revisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, di mana buruh semakin
dilemahkan posisinya, baik dalam upah, suara dan hak-haknya. Posisi kluster ini menempatkan
penguasaha di atas buruh, sehingga tidak ada prinsip egaliter atau dalam bahasa lain setara.
Ini terbukti dari mengenai upah di mana penentuannya bukan lagi bersandar pada KHL tetapi inflasi dan ditentukan oleh pusat, secara tidak langsung menggambarkan bahwa prinsip egaliter di Dewan Pengupahan diimpotenkan, peran buruh dikikis habis. Belum kita berbicara soal PKWT definisinya yang diperluas, kontraknya yang diperpanjang, tentu akan menyuburkan sistem outsorcing dan memberikan celah praktik pembungkaman bersuara, dalam kasus ini union
busting, sebab yang melawan akan dipecat. Dan masih banyak aturan bermasalah yang lainnya,
salah satunya ialah “penghapusan” malu-malu cuti haid bagi buruh perempuan.
Kluster lingkungan, ada upaya pelemahan pada UU No 32 PPLH 2009, di mana spirit
perlindungan dan pencegahan akan dihilangkan demi investasi. Dalam konteks korupsi, kluster
ini akan rawan, sebab pelanggaran akan ditekankan pada aspek administratif level rendah,
bukan kombinasi hukuman yang membuat jera. Seperti administratif maksimal, pidana dan
perdata. Tentu dalam penegakkan hukum yang masih kacau, penerapan aturan tersebut akan
membebaskan perusak lingkungan dari apa yang telah la rusak. Kluster ini akan melemahkan
gerakan demokratis, karena soal aturan terkait siapa yang dapat menggugat (Legal Standing),
ketika ada pencemaran lingkungan harus warga yang terdampak dan di wilayah terjadinya
eksploitasi. Sementara kita tahu bahwa dampak pencemaran itu bukan hanya di wilayah itu saja,
tapi juga bisa mengenai wilayah lainnya. Jika ini diterapkan maka suara rakyat yang melawan
pencemaran lingkungan akan dibungkam.
Kluster Pertanahan, bagaimana bagian ini akan menghilangkan peran UU No 5 Tahun 1960
tentang pokok agraria, yang mana di dalamnya mencakup Reforma Agraria dan Keadilan pada
rakyat. Seperti perluasan definisi pengadaan tanah untuk kepentingan negara yang mana
mencakup ruang investasi ekstraktif, tentu ini mengancam hutan rakyat dan tanah produktif
rakyat, ke depan akan mengancam kedaulatan pangan. Bukan menciptakan pekerjaan tetapi malahan akan membentuk pengangguran atau cadangan pekerja. Selain itu kluster ini akan
semakin meningkatkan konflik berdarah, di mana ada klausul HGU dapat diperpanjang sampai 90 tahun lamanya. Padahal banyak HGU ternyata mencaplok tanah rakyat, seperti pada
beberapa wilayah.
Tidak hanya itu juga, secara aturan RUU Ciker akan mengancam demokrasi, khususnya suara
rakyat, di mana segala aturan akan dibuat terpusat. Tentu ini menunjukan gejala otoriterisme rezim yang difasilitasi Pemerintah Pusat dan DPR RI. Bukannya refleksi demokrasi partisipatif,evaluasi otonomi daerah, malah membuat aturan berprinsip Leviathan. Artinya, RUU Ciker mengebiri demokrasi, mengangkangi konstitusi dan tidak menghargai suara rakyat.Bentuk pelanggaran konstitusional berat !!!!
Maka dari itu kami dari GETOL JATIM menyerukan dan menuntut pemerintah untuk:
1. Membatalkan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja;
2. Menghentikan tindakan intimidatif dan refresif serta kriminalisasi terhadap rakyat;
3. Apabila Rancangan Undang-undang Omnibus Law cipta kerja tetap dibahas dan/atau di
sahkan, maka Getol Jawa Timur akan Melakukan Penolakan secara terus-menerus di masing-masing sektor;
4. Jalankan Undang-undang Pokok Agraria 1960 dan tegakkan Reforma Agraria Sejati;
Organisasi yang tergabung dengan Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jatim :
1. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPD);
2. Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI);
3. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI);
4. Konfederasi Serikat Nasional (KSN);
5. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI);
6. Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi dan Umum (FSP KEP KSPI):
7. Komite Pusat Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (KPSPBI):
8. Serikat Pekerja Nasional (SPN):
9. Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI KPBI);
10.Federasi Serikat Perjuangan Buruh Indonesia (FSPBI KASBI):
11. Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (FSBK KASBI);
12. Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI):
13. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI);
14. Wadah Asah Solidaritas (WADAS);
15. Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (JARKOM SP Perbankan);
16. Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FARKES Ref KSPI);
17. Federasi Serikat Pekerja Percetakan, Penerbitan dan Multi Industri (FSP PPMI KSPI):
18. Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Federasi Kontras):
19. Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (FSP KEP SPSI);
20. Federasi Serikat Buruh Readymix dan Konstruksi (FSBRK KASBI):
21. Serikat Pekerja Danamon (SP Danamon);
22. Serikat Pekerja Perjuangan Bank Maybank Indonesia (SPPBMI);
23. Serikat Pekerja Bank Shinhan Indonesia (SPBSI);
24. Aliansi Badan Ekskutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI);
25. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI);
26. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI);
27. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA);
28. Front Nahdliyin untuk kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA);
29. Kader Hijau Muhammadiyah (KHM);
30. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM);
31. Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI);
32. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya;
33. Kesatuan Aksi Mahasiswa UNTAG Surabaya – Pro Rakyat;
34. Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND);
35. Kesatuan Aksi Mahasiswa UNESA;
36. Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga (BEM FISIP Unair);
37. Asosiasi Petani Indonesia (API) Jatim;
38. Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI);
39. Perhimpunan Mahasiswa Khatolik Indonesia (PKMRI);
40. Aliansi Literasi Surabaya (ALS);
41. Gerakan Penolak Lupa (GEPAL);
42. Selamatkan Waduk Sepat (SELAWASE);
43. Serikat Mahasiswa Indonesia (SAMI);
44. Komunitas Pemuda Independen (KOPI);
45. Paguyuban Warga Bandarejo;
46. Sekretariat Buruh Selatan (SERBU SETAN);
47. Persatuan Pekerja Korban Freeport Indonesia (P2KFI);
48. Front Mahasiswa Nasional (FMN);
49. BARA API;
50. Forum Advokasi Mahasiswa Unitomo
(Khoirul Anam)