Bogor, KPonline – Pagi menjelang. Ternyata hujan gerimis yang menyambut bangun tidurku diatas kardus packing produksi. Kuterbangun dari lelap dan mimpi buruk bagi setiap buruh, yang hingga kini masih harus bergelut dengan ketidak pastian. “Kapan PHK itu menghampiriku? Hari ini? Esok hari? Atau nanti?”
Sudah 18 kursi terisi dari 20 kursi yang telah disediakan oleh pihak Management perusahaan dimana aku bekerja. Dalam 10 hari kedepan, 18 orang sahabat akan segera meninggalkan dunia perburuhan, mencoba menapaki kerasnya kehidupan liar dunia luar. Kini tertinggal 2 kursi, yang sudah menunggu, sesiapa saja yang bermental baja dan hatinya seluas samudera. Untuk menyatakan, dan menandatangani surat PHK dengan alasan pensiun dini.
Efisiensi dan kapitalisasi hal yang lumrah dan sering kudengar lewat indera telinga. Kepentingan bisnis diatas segalanya, pun meski harus menanggalkan sisi kemanusiaan. Relokasi perusahaan tak ayal menjadi sebuah keputusan yang tak terelakan. “Ambil pesangon kalian, atau ikut kami!”
Ada banyak sahabat yang berbincang dengan kawan yang lainnya. Banyak diantara mereka yang akan merasakan kehilangan. Tidak hanya soal upah, malah lebih dari itu. Persahabatan, pengalaman hidup dan kekeluargaan. Yang kesemuanya ternyata tidak ternilai dengan apapun, termasuk uang.
10 hari menjelang pengumuman penutupan pabrik. Beberapa orang sahabat lebih banyak diam, lebih sering menyendiri. Entah apa yang mereka pikirkan, entah apa yang ada didalam pikiran mereka. 10 hari lagi, pabrik ini akan lebih sepi dari hari-hari biasanya. 10 hari lagi, pabrik ini akan diam membisu. Deru mesin akan berhenti bersuara, tak kan lagi terdengar suara canda tawa. (RDW)