Sebuah organisasi ibarat kapal yang berlayar menuju tujuan tertentu, dengan visi dan misi sebagai kompasnya. Setiap anggota di dalamnya adalah awak yang diharapkan mendayung serentak, menjaga arah, dan memastikan kapal tetap kokoh melawan badai. Namun, ketika ada individu yang tidak lagi sejalan dengan arah organisasi, keberadaan mereka menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan perjalanan. Menyimpan mereka di dalam struktur bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga berpotensi menenggelamkan kapal itu sendiri. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak sejalan harus amankan bukan karena motif pribadi, tetapi demi menjaga integritas, harmoni, dan kemajuan organisasi.
Bayangkan sebuah orkestra yang sedang memainkan simfoni megah. Jika satu pemain memilih memainkan nada yang berbeda, harmoni yang telah dirancang dengan cermat akan runtuh. Begitu pula dalam organisasi, ketidaksejalanan menciptakan disonansi yang mengganggu ritme kerja. Orang yang tidak sejalan sering kali menjadi sumber friksi, baik melalui sikap skeptis yang tidak konstruktif, penolakan terhadap keputusan bersama, maupun tindakan yang sengaja atau tidak menghambat kemajuan. Mereka mungkin mempertanyakan setiap langkah tanpa menawarkan solusi, atau lebih buruk lagi, menyebarkan keraguan yang menular ke anggota tim lainnya. Akar permasalahannya bukan pada perbedaan pendapatyang justru bisa memicu inovasi tetapi pada ketidakmauan untuk menyelaraskan diri dengan tujuan kolektif.
Friksi semacam ini bukan hanya menguras energi, tetapi juga mengalihkan fokus dari hal-hal yang benar-benar penting: inovasi, eksekusi, dan pencapaian tujuan.
Lebih jauh, kehadiran mereka merusak fondasi budaya organisasi. Setiap organisasi memiliki nilai-nilai inti yang menjadi perekat identitas dan semangat tim. Nilai-nilai ini bukan sekadar jargon di dinding kantor, tetapi panduan yang membentuk cara anggota tim bekerja, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Ketika seseorang tidak lagi mempercayai atau menghormati nilai-nilai tersebut, mereka menjadi anomali yang menggerogoti kepercayaan kolektif.
Bayangkan seorang anggota tim yang secara terbuka mengabaikan etos kerja keras atau integritas tindakan mereka tidak hanya melemahkan moral, tetapi juga menciptakan preseden berbahaya. Anggota lain mungkin mulai mempertanyakan mengapa mereka harus tetap berkomitmen jika standar yang mereka junjung ternyata bisa dilanggar begitu saja. Lama-kelamaan, budaya yang dulunya kuat dan inspiratif bisa terkikis, digantikan oleh cinisme, apatisme, atau bahkan perpecahan internal yang sulit diperbaiki.
Mempertahankan orang yang tidak sejalan juga merupakan pengkhianatan terhadap mereka yang masih setia berjuang. Anggota tim yang berdedikasi, yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi tujuan bersama, berhak mendapatkan lingkungan yang mendukung dan bebas dari gangguan.
Ketika organisasi membiarkan ketidaksejalanan berlarut-larut, mereka secara tidak langsung mengabaikan kerja keras dan loyalitas anggota yang tetap komitmen. Ini seperti membiarkan seorang atlet yang sengaja melanggar aturan tetap bertanding tim yang bermain jujur akan merasa dirugikan, dan kepercayaan mereka pada pelatih akan luntur. Organisasi yang gagal bertindak tegas dalam situasi ini menunjukkan kelemahan kepemimpinan, yang pada akhirnya bisa memicu ketidakpuasan lebih luas di antara anggota tim.
Namun, menyingkirkan seseorang bukan berarti harus dilakukan dengan cara yang dingin atau tanpa empati. Organisasi yang matang akan berusaha memahami akar masalahnya terlebih dahulu. Mungkin ketidaksejalanan itu muncul karena miskomunikasi, kelelahan, atau perubahan prioritas pribadi. Dialog terbuka, umpan balik yang jujur, atau bahkan evaluasi mendalam bisa menjadi langkah awal untuk mencari solusi.
Jika ternyata perbedaan itu tidak bisa diselaraskan misalnya, karena perbedaan visi yang mendasar atau ketidakcocokan nilai maka pemisahan adalah jalan terbaik. Ini bukan hanya demi organisasi, tetapi juga demi individu tersebut. Dengan melepaskan mereka, organisasi memberi kesempatan bagi mereka untuk menemukan tempat baru yang lebih sesuai dengan aspirasi dan keyakinan mereka. Kadang-kadang, keberanian untuk memutuskan hubungan adalah bentuk penghormatan terbesar yang bisa diberikan.
Pada hakikatnya, organisasi bukanlah tempat untuk kompromi yang mengorbankan prinsip. Menjaga harmoni dan fokus membutuhkan keberanian untuk membuat keputusan sulit, termasuk melepaskan mereka yang tidak lagi berjalan di jalur yang sama. Ini bukan tentang menghukum perbedaan, tetapi tentang melindungi apa yang telah dibangun dengan susah payah.
Seperti seorang tukang kebun yang memangkas ranting-ranting kering agar pohon tetap tumbuh subur, organisasi harus berani membuang beban yang menghambat pertumbuhan. Karena dalam perjalanan menuju tujuan besar, setiap langkah harus selaras, dan tidak ada ruang bagi mereka yang memilih berpaling ke arah lain. Dengan menyingkirkan ketidaksejalanan, organisasi tidak hanya menjaga kekuatannya saat ini, tetapi juga memastikan fondasi yang kokoh untuk masa depan. (Ete)