Jakarta,KPonline – Hari Buruh Migran Sedunia, Konvensi Migran 90 yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2012, belum terharmonisasi di dalam berbagai kebijakan secara utuh. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah justru mendiskriminasi Buruh Migran terutama perempuan pekerja rumah tangga.
Hingga saat ini sebanyak kurang lebih 7 juta orang yang bekerja diluar negeri dan 70% diantaranya adalah perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik. Persoalan Buruh Migran tidak terlepas dari pemiskinan struktural yang terjadi akibat kebijakan pembangunan negara. Investasi yang mengakibatkan alih fungsi dan perampasan lahan yang menjadi sumber-sumber kehidupan masyarakat, merupakan faktor pendorong utama migrasi tenaga kerja. Dalam situais pemiskinan, perempuan dihadapkan pada beban dan tanggung jawab untuk merawat dan menghidupi keluarga. Ketika mereka, ataupun suami dan ayah mereka tidak lagi dapat mengakses sumber kehidupan dan lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri, maka perempuan harus berpikir dan bekerja lebih berat untuk mencari alternatif sumber kehidupan, termasuk bekerja sebagai Buruh Migran di luar negeri.
Sayangnya, upaya pemerintah untuk menyediakan perlindungan bagi perempuan buruh migran, khususnya pekerja rumah tangga belum mampu mengatasi akar pesoalan. Bahkan, beberapa kebijakan yang dibuat atas nama perlindungan cenderung diskriminatif.
Pemberlakuan Roadmap Zero Domestic Workrs yang diperkuat dengan Kepmen 260 Tahun 2015 menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Pasalnya, alih-alih menyediakan perlindungan bagi perempuan yang mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak, kebijakan ini justru mendiskriminasi Pekerja Rumah Tangga Migran karena bersifat pelarangan atau pembatasan bagi pilihan perempuan untuk bekerja. Hal ini jelas melanggar Konvensi Migran 90, dan Rekomendasi CEDAW No. 26. Oleh karena itu, hak asasi buruh migran tidak akan terpenuhi apabilan masih terdapat kebijakan yang mendiskriminasi buruh migran. “Bukti jika Negara serius melindungi hak-hak perempuan buruh migran adalah dengan mencabut kebijakan dan menghentikan berbagai praktik diskriminatif terhadap perempuan buruh migran dan keluarganya” Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menegaskan.
Tidak saja diskriminatif, pemberlakuan kebijakan ini nyatanya berdampak pada melonjaknya kasus-kasus trafficking perempuan buruh migran di Arab Saudi dan Negara timur tengah lainnya. Data Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan lebih dari 263 kasus trafficking yang dilaporkan dengan modus penempatan unprosedural pasca pemberlakuan Kepmen 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Pengiriman TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah. Sekali lagi, situasi menjadi bukti kuat dari ketidakefektifan kebijakan tersebut yang justru semakin merentankan perempuan buruh migran menjadi korban perdagangan orang.
Perlu diakui, bahwa upaya pemerintah dalam mewujudkan perbaikan tata kelola migrasi terlihat dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru disahkan pada Oktober 2017. Pembagian tugas dan wewenang yang proporsional antara pemerintah pusat dan daerah, pengurangan peran swasta dalam system penempatan, pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), peralihan pengelolaan jaminan sosial dari swasta ke Negara, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan menjadi isu penting yang diatur UU. Menanggapi UU ini, Hariyanto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia mengingatkan bahwa “Pemerintah juga harus menjamin pendidikan gratis dan aksesnya yang mudah agar dapat dinikmati manfaatnya bagi buruh migran termasuk anak buruh migran. Ini penting agar buruh migran dan keluarganya memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan yang baik dalam mempertahankan maupun memperjuangkan hak-haknya”.
Lebih lanjut, Savitri dari Jaringan Buruh Migran menyatakan “Permasalahan yangg dialami oleh buruh migran terbesar adalah masalah ketenagakerjaan dalam hal upah rendah dan upah tidak dibayar, kondisi kerja yang ekspolitatif dalam hal jam kerja tinggi, beban pekerjaan berat, tidak ada hari libur, dan mendapatkan kekerasan baik psikis maupun fisik. UU PPMI meski telah lebih baik dari UU No. 39/2004 namun masih banyak kelemahan yang perlu di perbaiki dalam 28 peraturan turunan terutama pada bagian pengawasan. Pengawasan harus memastikan bahwa hak-hak buruh migran tidak dilanggar dan pelayanan migrasi dapat mudah diakses, mudah dijangkau, cepat, bebas pungli dan bebas dari komersialisasi. Jangan sampai peraturan turunan memunculkan ruang eksploitasi yang baru”.
Senada, Puspa Dewy menegaskan bahwa UU No. 18 Tahun 2017 masih menyisakan persoalan, terutama bagi Pekerja Rumah Tangga Migran yang mayoritas adalah perempuan. “Masih ada celah kerentanan PRT Migran di dalam UU No. 18/2017. Pekerja rumah tangga yang masih sangat rentan mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang karena penempatannya masih diserahkan kepada pihak swasta,” pungkasnya. Oleh karena itu, pembentukan peraturan turunan yang dimandatkan UU No. 18/2017 harus terus dikawal dan dikritisi untuk memastikan jaminan perlindungan seluruh hak-hak Buruh Migran dalam Konvensi Migran 1990 sepenuhnya dapat direalisasikan tanpa terkecuali, termasuk dengan mencabut kebijakan dan menghentikan praktik diskriminatif terhadap buruh migran.