Hidup Buruh !!!

Hidup Buruh !!!
Dokumentasi ketika aku memberikan motivasi kepada buruh-buruh di sebuah pabrik di Tangerang, Banten. (Foto: Dokumen Pribadi Kahar)

Setiap kali hadir dalam acara diskusi atau konsolidasi yang diselenggarakan teman-teman buruh, kalimat pertama yang aku teriakkan adalah, “Hidup Buruh!”

Lalu, sambil mengangkat tangannya ke atas, dengan gempita mereka akan membalas, “Hidup.”

Bacaan Lainnya

“Hidup Buruh!”

“Hidup.”

Selalu begitu. Teman-temanku bilang, itu kebiasaan. Tetapi, bagiku, teriakan ‘hidup buruh’ lebih dari dari sekedar kebiasaan. Bukan juga sekedar menjadi pembuka dari sebuah kata sambutan.

Teriakan ‘hidup buruh’ adalah deklarasi. Bahwa sejatinya perjuangan kaum buruh adalah perjuangan untuk kehidupan.

Teriakan ‘hidup buruh’ adalah mantra. Semacam penolak bala, agar buruh tetap menjadi manusia. Tidak berubah menjadi robot yang memiliki nyawa.

Dokumentasi ketika aku memberikan motivasi kepada buruh-buruh di sebuah pabrik di Tangerang, Banten. (Foto: Dokumen Pribadi Kahar)
Dokumentasi ketika aku memberikan motivasi kepada buruh-buruh di sebuah pabrik di Tangerang, Banten. (Foto: Dokumen Pribadi Kahar)

Dan pada akhirnya, teriakan ‘hidup buruh’ adalah pengingat bagi semua umat. Bahwa buruh adalah penentu peradaban. Nggak percaya? Sebutkan satu saja benda yang melekat di tubuhmu, niscaya tak ada satu pun yang terbebas dari sentuhan tangan seorang buruh. Bahkan celana dalam yang kau pakai, buruh lah yang membuatnya. Sampai pada hal yang sekecil itu. Maka terserah kau saja. Jika masih tidak memiliki empati kepada kaum buruh, apalagi ikut-ikutan memusuhi mereka, tanggalkan semua hasil karya buruh yang kau pakai. Niscaya kau tidak akan memakai apa-apa lagi.

Siapa itu buruh?

Satu ketika Surya Tjandra pernah mengatakan, buruh adalah orang yang tidak memiliki apa-apa. Dia hanya mempunyai tenaga, kemudian hidup dengan menjual tenaganya itu.

Kalau saja dia mempunyai banyak uang, dia tak akan sudi menjadi buruh. Atau meninggalkan Indonesia, negeri yang permai ini, untuk pergi ke negeri orang. Yang dia punya hanyalah tenaga. Itulah yang ia jual kepada majikan untuk mendapatkan uang.

Di negerinya sendiri, tidak semua orang membutuhkan tenaganya. Maka dengan terpaksa ia ‘menjual tenaganya’ ke negara lain. Menjadi buruh migrant.

Coba bayangkan ini. Ketika perusahaan sepatu memproduksi sepatu, yang mereka jual kepada konsumen adalah sepatu. Ketika perusahaan mobil memproduksi mobil, yang mereka jual kepada konsumen adalah mobil. Lantas bagaimana kita menjelaskan pengiriman ribuan orang ke luar negeri melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia? Dalam hal ini, yang mereka jual adalah manusia.

Kalau satu ketika si buruh migrant itu jatuh sakit, terkapar tak berdaya, dengan mudah majikan menendangnya. Menggantikan dengan buruh baru yang lebih kuat tenaganya. Sang majikan, orang yang telah ‘membeli’ si buruh migrant itu, merasa bebas memperlakukan buruhnya dengan sesuka hatinya: upah yang murah, kerja tanpa istirahat, bahkan memperkosa. Sudahlah memeras tenaganya, dia ambil pula tubuhnya.

Dan ketika si buruh migrant itu membela diri, dengan segera ia akan divonis hukuman mati. Ironisnya, pembelaan penguasa negeri ini terhadap warga negara yang akan meregang nyawa di tiang gantungan hanyalah basa-basi.

* * *

Hidup buruh…

Bahwa buruh berjuang untuk kehidupan. Bukan saja untuk dirinya, tetapi juga untuk anak dan anak dari anak-anaknya itu.

Kalau saja disini, di negeri bernama Indonesia ini, tersedia kehidupan yang lebih baik, buruh tak akan mencarinya hingga jauh ke negeri orang. Mereka menjadi seperti itu bukan karena kesalahannya. Bukan pula karena kebodohannya. Mereka menjadi seperti itu, karena tak banyak pekerjaan tersedia untuknya.

Sebagian dari kita beruntung mendapatkan pekerjaan didalam negeri. Tetapi ada jutaan yang lain tidak memiliki keberuntungan itu. Padahal, mereka bukan orang lain. Mereka saudara kita. Mereka adalah kita: buruh.

Bedanya, mereka bekerja di luar negeri, sedangkan kita bekerja di dalam negeri. Apakah hanya karena dipisahkan oleh batas negara kemudian ada jarak dengan mereka? Tidak! Seperti halnya rasa kemanusiaan yang tak mengenal batas negara, begitulah solidaritas antar buruh. Itulah sebabnya, meskipun saat ini aktif mendampingi buruh-buruh didalam negeri, aku tertarik dan ingin terlibat dalam perjuangan buruh migrant (di luar negeri).

.

Kahar S. Cahyono

“Tulisan Ini Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia Bersama Melanie Subono”

Pos terkait