Ibu Menggugat Tuhan

Ibu Menggugat Tuhan
Mamaku dan Aku

Kami duduk bersisian. Senja datang
Menghapus terik

Semilir angin mengerang
Bau hangus pada kain batik

Aku mengenang rindu yang hilang
Airmata terus menitik

Mamaku hanya melamun
Tak mengenali putri sendiri

Dia bilang kamu siapa?
Aku bersimpuh di pangkuan
Menangis nyeri
Menyumpahi papa

 

Ibu Menggugat Tuhan

Jika memang diri ini dari tulang rusuk lelaki
Kuterima dengan sepenuh hati
Aku memang terlahir dengan jiwa abdi
Kutahu aku pemberi relasi sejati
Bahkan bila hidup sekedar menjadikanku alat reproduksi
Jangan kasihani! Tumpukan segala beban disini
Jika kau percaya, aku mampu seorang diri
Dengan atau tanpa berbagi
Sedang lelaki saja terlahir dari rahim ini

 

Ibu Berdemonstrasi

Kami lahirkan anak-anak kami
Yang mesti menanggung hutang sejak mereka bayi

Kami lahirkan anak-anak kami
Dengan ketidakpastian masa depan yang menanti

Kami lahirkan anak-anak kami
Ketika penegakan hukum masih berada di alam mimpi

Kami lahirkan anak-anak kami
Saat pemenuhan hak asasi ibarat jauh panggang dari api

Kami lahirkan anak-anak kami
Waktu macam-macam subsidi hanya sekedar upaya cari simpati

Kami lahirkan anak-anak kami
Di masa kebijakan pro rakyat cuma basa-basi

Meski demikian, masih juga kami lahirkan anak-anak kami
Dengan harapan suatu hari mereka akan memperbaiki negeri

======
Puisi ini ditulis oleh Ana Westy dalam sebuah buku berjudul Senyum Bulan Desember bersama Chaerudin Saleh, dan Asyafa Jelata yang diterbitkan LeutikaPrio dan Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS).

Ana Westy, tetapi lebih senang dipanggil Achie, lahir dan besar di Kalimantan Barat 3 Maret 1985 lalu, menghabiskan masa kuliah dan kerja di Bandung selama tujuh tahun. Kembali lagi ke Kalimantan Barat karena sebuah tugas negara. Senang menyebut diri sebagai ”penyiar yang penulis” – ”penulis yang penyiar”. Senang menulis karena ingin sekali tulisan-tulisannya menginspirasi, sekaligus tetap aktif di dunia penyiaran. Produksi karya fiksi dan non fiksi telah diterbitkan di berbagai media seperti Tribun Jabar, Pikiran Rakyat, dan Penerbit Esensi.

Senyum Bulan Desember sendiri merupakan kumpulan puisi yang merefleksikan semua kepedihan itu. Bukan sekedar refleksi, malah. Namun juga hendak bersuara dengan tegas dan keras, bahwa jangan ada lagi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Hal ini sekaligus hendak menegaskan tentang kemerdekaan kaum perempuan. Bahwa eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang serius karena akan meninggalkan dampak yang luar biasa. Trauma mendalam, yang bisa jadi akan berdampak abadi. Bukan hanya si perempuan itu sendiri, namun juga generasi yang akan dilahirkannya esok hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

1 Komentar