Impor Merajalela, Buruh Tekstil Merana, KSPI Bakal Unjuk Rasa

Industri tekstil di Indonesia tengah mengalami masa-masa krisis. Ini ditandai dengan adanya penutupan puluhan pabrik dan pemutusan hubungan kerja (PHK) puluhan ribu buruh.

Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 adalah biang keladi. Padahal, peraturan ini awalnya dirancang untuk merespons perkembangan terbaru dalam perdagangan internasional, memperkuat mekanisme kuota dan lisensi impor, serta memfasilitasi kebutuhan industri nasional melalui impor bahan baku yang lebih terstruktur.

Dua poin utama yang langsung berdampak pada industri tekstil nasional adalah pertama, menghilangkan persyaratan pertimbangan teknis untuk impor oleh pemegang API-P untuk 18 komoditas khusus. Kedua, melonggarkan regulasi impor untuk sebelas kelompok komoditas termasuk elektronik dan tekstil.

Tetapi yang terjadi, pasar global yang lesu dan membanjirnya produk impor murah dari China. Alih-alih meningkatkan efisiensi industri tekstil nasional, nyatanya kebijakan ini justru menimbulkan badai PHK.

Bagi para buruh, jumlah pabrik yang tutup dan buruh yang di-PHK bukan tentang angka, tetapi tentang kehidupan ribuan keluarga yang tergantung pada industri ini.

Menanggapi badai PHK, kaum buruh dengan tegas menolak. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan sudah mengeluarkan surat instruksi untuk melakukan aksi demonstrasi di Istana dan Kantor Kementerian Perdagangan pada hari Rabu, tanggal 3 Juni 2024. Keputusan ini ditegaskan kembali dalam rapat yang dipimpin Presiden KSPI Said Iqbal pada Senin malam (1/7).

Sikap kami sudah jelas! Melawan, menolak, dan menyuarakan tuntutan agar kaum buruh tidak dirugikan.

Sebagaimana kita tahu, PHK menciptakan ketidakpastian ekonomi bagi ribuan pekerja. Tak sedikit buruh yang kehilangan pekerjaan adalah tulang punggung keluarga yang mengandalkan penghasilan dari industri tekstil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini tidak hanya berpengaruh bagi individu, tetapi juga memengaruhi keluarga buruh secara keseluruhan, menyebabkan ketidakpastian keuangan, pendidikan, dan kesehatan. Anak-anak dari keluarga buruh mungkin harus putus sekolah, dan kesehatan keluarga juga terancam karena hilangnya akses ke fasilitas kesehatan yang terjangkau.

Akar masalah dari semua ini terletak pada kebijakan pemerintah yang tidak mendukung industri domestik dan kebijakan perdagangan yang tidak adil. Pemerintah seharusnya melindungi industri dalam negeri, bukan membiarkannya hancur oleh produk impor. Situasi ini semakin parah ketika dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, pemerintah justru mempermudah terjadinya PHK. Inilah yang sekarang terjadi!

PHK bukanlah jawaban yang adil bagi para pekerja yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. Untuk itu, buruh menuntut kebijakan yang lebih baik dari pemerintah dan pengusaha, tidak menjadikan buruh sebagai korban atas kebijakan yang salah.

Dalam aksi 3 Juni nanti, kami berharap akan menarik perhatian publik dan pemerintah, serta mendorong perubahan kebijakan yang diperlukan untuk melindungi kaum buruh dari PHK massal.

Oleh karena itu, penting untuk memperkuat solidaritas di antara kelas buruh. Kaum buruh harus bersatu untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya.

Pemerintah harus mengambil tindakan nyata dan segera untuk mengatasi krisis ini. Jangan jadikan kaum buruh sebagai tumbal atas kebijakan yang salah.

Untuk itu, dukungan dan partisipasi aktif dalam demonstrasi pada 3 Juni 2024 adalah langkah konkret menuju perubahan yang kita perjuangkan. Mari bersiap!

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan