Jakarta, KPonline – Berbagai kelompok gencar menolak RUU Pertembakauan dengan berbagai dalih. Misal, Dewan Penasehat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Emil Salim di koran nasional yang terbit Kamis (23/2) menyebut RUU Pertembakauan hanya akan menjerumuskan generasi muda bangsa ke dalam jurang kehancuran. RUU tersebut juga dinilai Emil terselip kepentingan industri rokok dan bau politik uang.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, dalam memandang isu tembakau, tidak bisa hanya dari satu sisi, misal aspek kesehatan saja. Ada aspek penerimaan negara dalam bentuk cukai, ada kepentingan industri, ada kepentingan petani tembakau, dan juga jutaan tenaga kerja, yang juga harus diperhatikan.
Semua itu, sejatinya sudah diatur melalui roadmap industri yang disusun pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian.
Baca juga: Petani: Ada Penumpang Gelap di Kampanye Anti RUU Pertembakauan
Soal kritikan yang terus muncul ke industri, menurut Enny tentu saja selalu datang dari kelompok yang disponsori oleh Bloomberg melalui program The Bloomberg Iniative to Reduce Tobacco.
Menurut Enny, seharusnya, masing-masing kelompok, baik pro atau anti RUU Pertembakauan, tidak menggunakan sudut pandang sendiri yang dikhawatirkan hanya berujung pada lobi-lobi dalam setiap penentuan keputusan regulasi.
“Menurut saya, jangan sampai terjadi seperti itu. Semua penting. Bagaimana mengakomodasi semuanya,” tegas Enny, dalam siaran pers yang diterima KPonline.
Baca juga: Kenaikan Cukai Rokok Ibarat Menghisap Darah Rakyat Kecil
Sekarang ini, kata Enny, ada kecenderungan melihat industri rokok dalam kaca mata hitam putih. Kelompok anti tembakau menganggap tembakau hanya akan merusak generasi di masa depan. Sementara industri pasti berpikir punya hak hidup karena selama ini menyetor RP139 triliun lebih ke negara. DI sisi lain, dengan uang cukai sebesar itu, negara akan berpikir keras jangan sampai kehilangan pemasukan.
Semestinya, bisa diselaraskan dan berpikir jangka panjang. Yang paling benar, tentu yang ada di roadmap industri. Menyelaraskan pemasukan negara, industri, tenaga kerja, dan kesehatan. Sayangnya, hal ini tidak pernah dibahas serius. Akhirnya, ada kelompok tertentu menilai tembakau begitu buruk.
Menurut Enny, ada beberapa usul, yang mungkin saja bisa menjadi jalan tengah. Industri tetap hidup dan kepentingan sektor lain bisa terakomodir. Misal, pengenaan cukai berbeda untuk rokok dengan kandungan lokal dan impor. Kalau rokok dengan kandungan tembakau lokal mayoritas, cukainya bisa lebih rendah. JIka rokok menggunakan tembakau impor maka bisa dikenakan cukai tinggi. Dengan begitu, industri pun akan fokus ke tembakau dalam negeri.
Baca juga: Wow.. Duit 30 Triliun Habis Untuk Obati Sakit Karena Rokok
“Kalau kandungan lokal kurang dari 20 persen, cukainya sekian. Kan itu juga bisa jadi instrumen. Instrumen itu kan bagaimana menjaga keempat tujuan tadi bisa ditemukan. Produksinya kan boleh jadi ikut berkurang. Tapi tentu tidak bisa ujug-ujug, harus bertahap dan disesuaikan dengan kebijakan harga jual. Instrumen cukai berefek ke harga, itu, kan, untuk pengendalian juga,” ucap Enny.
Soal impor tembakau yang dinilai masih tinggi, menurut Enny, juga harus mampu dijawab pemerintah misal dengan mendorong petani melakukan intensifikasi atau menggunakan teknologi baru agar produksi tembakau di dalam negeri bisa meningkat.
“Industri tembakau sudah bikin roadmap tiap tahun tumbuh berapa, sehingga kebutuhan bahan baku tembakau itu bisa disuplai dalam negeri. Sehingga ada titik temu, win win solution,” tegasnya.
Baca juga: APTI Desak Pemerintah Berlakukan Bea Tarif Masuk Impor Tembakau
Kata Enny, selama ini, akibat impor yang tidak diatur, industri bisa menumpuk stok. Sehingga ujungnya, sisi daya tawar petani rendah. Namun, petani juga tidak boleh langsung memaksa menyetop impor. Yang harus dilakukan, pengurangan impor itu bertahap disesuaikan dengan roadmap kebutuhan industrinya.
“Ini perlu dilakukan agar kepentingan kesehatan, ekonomi, industri terakomodasi, termasuk kepentingan ketenagakerjaan, bisa sejalan. Industri rokok kan bagaimana pun masih berkontribusi. Ke empat tujuan tadi harus bisa diselaraskan,” tegasnya.
Yang pasti, berkaitan dengan cukai, tetap harus fair. Jika tarif cukai dinaikkan sementara kondisi ekonomi lesu dan industri sudah terbebani, maka dampak paling buruk terjadi PHK. “Kebijakan kenaikan cukai pasti akan memukul industri rokok. Ujung-ujungnya bisa terjadi PHK,” jelas Enny.
Baca juga: 4 Cara Alami Berhenti Merokok
Cukai dan pajak dari hasil tembakau tidak mesti selalu harus dialokasikan untuk kesehatan dan akan lebih baik dipakai untuk kepentingan publik. Salah satu kepentingan publik yang bisa dibangun adalah perpustakaan umum, sarana transportasi, yang memberikan manfaat luar biasa kepada publik.
Sebab, jika bagi hasil dari cukai dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kesehatan, hal itu akan menimbulkan multitafsir. “Tentang kesehatan apa? Menurut saya, karena ini dipungut dari publik, sedapat mungkin itu dikembalikan untuk kepentingan publik,” ujarnya.
Di roadmap Badan Kebijakan Fiskal 2006-2020 sudah jelas, bahwa kebijakan tembakau berpatokan kepada tiga hal yakni tenaga kerja, kesehatan,dan fiskal. Tidak bisa, masing-masing ingin menafikan yang lain. Jika aspek kesehatan dan fiskal dikedepankan sementara ketenagakerjaan dan industri dipinggirkan, maka jelas sudah tidak sehat lagi.