Indonesia Diaspora Menyoal Perlindungan Buruh Migran

Indonesia Diaspora Menyoal Perlindungan Buruh Migran

Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Focal Point Migrant Workers Indonesia Diaspora Dimas P Wardhana ertemuan yang sedang mengikuti pertemuan Diaspora Indonesia ke-4 (IDN-4 Global Summit) di Jakarta. Menurut Dimas, dalam pertemuan ini, salah satunya adalah menyoal perlindungan buruh migran melalui revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Menurut Dimas, berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), devisa Negara dari Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 5,7 Trilyun. Itu baru TKI yang bekerja di Taiwan saja. Belum termasuk dari negara lain. Namun apakah perlindungan dan penempatan TKI tersebut terjamin?

Bacaan Lainnya

TKI Berjuang Demi Keadilan

Dalam pertemuan Indonesia Diaspora ini, mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sempat menjadi korban penyiksaan di Hong Kong, Erwiana Sulistyaningsih, menilai upaya perlindungan WNI buruh migran di luar negeri semakin baik.

“Kalau di Hong Kong sudah lebih baik, pihak KJRI mau mendengar keluhan kami dan menyambangi ke shelter perlindungan TKI,” tutur Erwiana yang hadir dalam salah satu diskusi tentang buruh migran di Pertemuan Indonesia Diaspora ke-4 (IDN-4 Global Summit) tersebut.

Menurut Erwiana, upaya perlindungan dan pendampingan terhadap TKI di luar negeri berangsur membaik sejak kasus penyiksaan yang menimpanya mencuat pada 2014. Pada saat itu, Erwiana memilih didampingi oleh organisasi buruh migran Mission for Migrant Workers karena merasa lebih nyaman berjuang bersama para buruh migran dan kecewa aduannya tidak diakomodasi oleh agen tenaga kerja yang membawanya.

Perjuangan Erwiana memperoleh keadilan hukum bagi dirinya kemudian memperkuat peran organisasi buruh migran, yang kemudian menjadi tempat berlindung para TKI yang mengalami tindak kekerasan serupa dan memunculkan keinginan pemerintah untuk bekerja sama melindungi para TKI.

“Akhirnya pemerintah mulai terbuka, karena dulunya tidak mau memperjuangkan bersama dengan pihak lain termasuk organisasi sehingga upaya hukum atas kasus-kasus seperti ini menjadi tidak maksimal,” kata perempuan asal Ngawi, Jawa Timur.

Erwiana yang pergi ke Hong Kong untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi membantu keuangan keluarga, justru mendapat siksaan fisik selama delapan bulan oleh majikannya, Law Wan-tung.

Tindak penyiksaan yang dialaminya menarik perhatian masyarakat serta media internasional setelah seorang rekannya mengunggah foto Erwiana yang badannya lemah dan penuh luka infeksi ke media sosial, sebelum ia dipulangkan ke Indonesia oleh si majikan.

Viralnya foto Erwiana di media sosial mendorong aksi unjuk rasa lima buruh migran yang bekerja di Hong Kong untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan menuntut majikannya dihukum berat.

Perjuangan Erwiana mendapatkan keadilan membuahkan hasil saat pengadilan Hong Kong menjatuhi hukuman enam tahun penjara terhadap mantan majikannya pada Februari 2015. Saat ini, perempuan yang termasuk dalam “100 Most Powerful People” versi majalah “Time” pada April 2014 itu masih berjuang dalam penyelesaian kasusnya secara perdata dengan tuntutan 800 ribu dolar Hong Kong.

Pemerintah Diharapkan Lebih Memperhatikan Hak TKI

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Heriyanto mengatakan, isu mengenai buruh migran memang belum tersentuh di awal kemunculan konferensi dan kongres diaspora Indonesia. Namun, belakangan bersama sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat lainnya, SBMI terus mendorong supaya suara pekerja migran bisa mulai diakui oleh komunitas diaspora.

Selain minim pengakuan dari kelompok diaspora, tutur Heriyanto, pemerintah juga kerap menganggap para pekerja migran sebagai beban. Padahal, menurutnya, pemerintah banyak mendapatkan keuntungan dari pekerja migran.

“Kenapa pemerintah tidak menganggap buruh migran sebagai aset sumber daya manusia negara? Buruh migran kan bisa dianggap sebagai delegasi RI untuk promosikan budaya kita di luar negeri juga. Mereka [TKI] juga penyumbang devisa terbesar kedua bagi negara,” papar Heriyanto.

“Ada kecenderungan negara tidak mau mengatakan buruh migran sebagai aset sumber daya manusia tapi malah sebagai masalah. Kalau pemerintah anggap mereka sebaga aset kan negara wajib melindungi.”

Lebih lanjut, Heriyanto berharap ke depannya peran buruh migran bisa lebih dianggap oleh diaspora Indonesia. Sebab, menurutnya, buruh migran juga mengambil peran penting membangun perekonomian bangsa.

Diharapkan, pemerintah bisa lebih memperhatikan lagi hak-hak TKI di luar negeri dan memperkuat perlindungan hukum bagi mereka. Sebab, tak bisa dipungkiri masih banyak dari para TKI kita di luar negeri yang sedang menjalani proses hukum dan masalah lainnya. Ini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.