Surabaya, KPonline – Suasana ruang audiensi di Gedung Negara Grahadi siang kemarin (Senin, 08/10/2018) terasa penuh sesak dengan peserta audiensi yang datang dari perwakilan KSPI Jawa Timur dan juga para staff dari Pemprov Jawa Timur.
Namun sayangnya pada kesempatan audiensi siang kemarin, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dan juga perwakilan dari lembaga PTUN dan Pengadilan Negri tingkat Provinsi berhalangan hadir dalam agenda tersebut.
“Saya sebenarnya agak kecewa, pihak PTUN dan PN berhalangan hadir, karena menurut saya, banyak permasalahan ketenagakerjaan yang juga bermasalah di kedua lembaga pemerintah tersebut.” Ujar Apin, ketua KSPI Jawa Timur seraya membuka agenda diskusi pada siang hari tersebut.
Banyak hal yang telah dipaparkan oleh para perwakilan audiensi KSPI Jatim kepada pihak Pemprov Jatim yang saat itu diwakili oleh Kadisnaker Provinsi Jatim, Himawan, Perwakilan Biro Hukum Pemprov Jatim, Jempin yang didampingi pula oleh para staff dan jajarannya.
Beberapa tuntutan KSPI Jatim, yang telah di sebar melalui media maupun pers rilis pada kesempatan sebelumnya telah di paparkan secara gamblang oleh perangkat KSPI Jatim, yang akhirnya mendapatkan catatan kritis dari sekretaris KSPI Jatim, Jazuli, siang kemarin, yang secara langsung disampaikan kepada para pejabat pemerintah yang hadir di tempat tersebut.
“Kami melihat, bahwa kami merasa hidup dinegara ini, seperti tidak pernah memiliki pemerintah, malahan kami seolah-olah merasa di politisir oleh pemerintah, bisa kita lihat bersama, dimana peran pemerintah saat terjadi kesenjangan sosial yang sudah terlihat di depan mata, seperti disparitas upah ini?” Ujar Jazuli.
Hal itu dilakukan Jazuli, usai melihat ketidak seriusan pemerintah provinsi Jawa Timur yang hingga memasuki masa-masa akhir jabatan dari Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, dalam menangani persoalan disparitas upah.
“Saya tak habis pikir dengan pemprov Jatim, yang hingga saat ini masih membiarkan sebuah fenomena kesenjangan upah yang sangat signifikan terjadi di Jawa Timur, terkait adanya selisih upah hingga mencapai 140%, yang dimana data itu di ambil dari data upah tertinggi di Jatim antara Surabaya dengan upah terendah di Pacitan,” tambahnya.
Permasalahan di bidang jaminan sosial pun tak luput dari pembahasan KSPI Jatim saat itu. Disampaikan secara langsung oleh Wakil Sekretaris DPW FSPMI Jatim, Nuruddin Hidayat, pria kelahiran Sidoarjo tersebut, menganggap target Pakde Karwo terkait program jaminan sosial bagi seluruh rakyat Jatim banyak ‘mbereset,e’ alias belum terwujud hingga saat ini.
Nuruddin juga menuntut agar Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) segera di bentuk di Jawa Timur. Hal itu dianggapnya agar di Jawa Timur memiliki sebuah badan independen yang bertujuan untuk mengontrol dan mengawasi peran pelayanan rumah sakit di Jawa Timur. Namun jawaban dari Pemprov hanya sekedar akan di koordinasikan dulu.
“Se-Indonesia, hanya di Jawa Timurlah yang tidak mempunyai BPRS, padahal jika mengacu Pasal 23 PP No. 49 tahun 2013, dimana Provinsi Jawa Timur yang sudah memiliki lebih dari 10 rumah sakit, semestinya Gubernur Jatim sudah harus membentuk BPRS,” ujar Nurrudin.
Terkait evaluasi pengawas ketenagakerjaan pun, juga sempat di singgung oleh Ardian Syafendra, selaku Ketua KC FSPMI Kab. Mojokerto, yang intinya merasa pengawas Disnaker Provinsi tidak pernah bisa bekerja maksimal dan serius, hal itu di buktikan dengan banyaknya kasus ketenagakerjaan yang mangkrak di meja pengawasan.
Usai melakukan audiensi, KSPI Jawa Timur pun memberikan deadline kepada Pemprov Jatim untuk menyelesaikan persoalan disparitas upah dan permasalahan lainnya hingga akhir bulan Oktober ini, agar ketika masa jabatan Gubernur Jatim habis, Pakde Karwo tidak mewariskan sebuah kesenjangan sosial yang begitu lebar di Jawa Timur. (Bobby )