Surabaya, KPonline – Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia Nadhlatul Ulama menggelar peringatan hari lahir Sarbumusi NU yang ke-63 tahun dan Muspimnas di Surabaya 9-11 November 2018.
Dalam kesempatan ini, Presiden DPP K-Sarbumusi NU, Syaiful Bahri Anshori mengatakan pada ulang tahun yang ke 63 tahun ini harus dijadikan sebagai momentum kebangkitan Sarbumusi sebagai rumah bagi buruh di seluruh Indonesia.
“Saya berharap ini menjadi momentum kebangkitan Sarbumusi sebagai Sarikat Buruh terbesar di Indonesia dan bisa menjadi rumah bagi seluruh buruh di Indonesia,” ungkap Syaiful, Sabtu (10/11/2018).
Syaiful menerangkan Sarbumusi telah mengalami tiga zaman yang berbeda, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan reformasi. Oleh karena itu Syaiful berharap Sarbumusi lebih mudah beradaptasi dengan situasi perubahan Zaman.
“Enam puluh tiga tahun itu tidak muda lagi dan sarbumusi itu mengalami tiga zaman, zaman orde lama, baru, reformasi. Sehingga cukup berpengalaman dalam mengelola buruh. Oleh karena itu kedepan saya kira kita akan meningkatkan kualitas dan kuantitas anggota,” paparnya.
Sejarah Sarbumusi
Dilansir dari ksarbumusi.org, Sarbumusi merupakan satu dari sekian banyak serikat buruh yang ada di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950- 1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan pada awal Orde Baru (1966-1973).
Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 27 September 1955. Sarbumusi berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam hal ini Partai Nahdlatul Ulama (NU). Dalam perkembangannya tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam sektor perburuhan. Lebih jauh dari itu memperjuangkan aspirasi kaum buruh ketika berhadapan dengan Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap gerakan buruh.
Pada awal pertumbuhannya Sarbumusi sebagai sarikat buruh yang berafiliasi pada Partai NU disibukkan oleh persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi mengimbangi pengaruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keterkaitan serikat buruh dan politik pada satu sisi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi penanaman ruh nasionalisme dalam masa Pergerakan Nasional. Namun di sisi lain nuansa politik yang kental dari serikat-serikat buruh telah menyebabkan perjuangan buruh tidak mencapai hasil yang optimal terutama ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dan pemerintah. Gerakan buruh tidak mampu bersatu dalam memperjuangkan aspirasinya, tapi terpecah belah oleh orientasi dan afiliasi politiknya masing-masing.
Dari sisi sejarah, sepak terjang Sarbumusi telah melewati tiga fase sistem demokrasi Indonesia yaitu orde lama, orde baru dan era reformasi. Sarbumusi tidak hanya melakukan konsolidasi kaum buruh dan pekerja nahdliyin di awal pendiriannya. Lebih jauh lagi, Sarbumusi mampu menjadi saluran aspirasi buruh untuk memperjuangkan kesejahteraannya.
Selain itu dalam konteks kehidupan sosial, Sarbumusi sekaligus tampil sebagai Badan Otonom Nahdlatul Ulama (Banom NU) yang secara bersama-sama telah memperjuangkan paham keislaman ahlussunnah wal jamaah. Alhasil, kejayaan Sarbumusi pada pemilu 1955 tercatat dalam sejarah karena mampu menandingi SOBSI (organisasi buruh PKI), dan mampu mengantarkan Partai NU saat itu menjadi pemenang ketiga dalam pemilu pertama di Indonesia.
Pada masa Orde Baru yang sukses meleburkan semua serikat buruh ke dalam FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) pada tahun 1973, FBSI kemudian menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dimana SPSI menjadi satu-satunya organisasi buruh yang diakui oleh pemerintah, sementara organisasi diluar SPSI dianggap ilegal. Dengan dilarangnya serikat buruh lain kecuali SPSI, maka Orde Baru telah berhasil membubarkan serikat buruh yang ada saat itu, termasuk Sarbumusi.
Sarbumusi baru terbentuk kembali tahun 1998, setelah pemerintahan Habibie meratifikasi konvensi ILO no 87 tentang Kebebasan Berserikat yang implementasinya baru direalisasikan oleh UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Sarbumusi kembali resmi menjadi Badan Otonom NU pada Muktamar NU 1999 di Kediri. Rativikasi konvensi ILO itu juga menandai kebebasan untuk mendirikan organisasi buruh di setiap sektor. Tonggak sejarah itu merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk melakukan agenda pembaruan kebijakan perburuhan guna memperjuangkan kepentingan kaum buruh Indonesia.