Bogor, KPonline – Massa buruh terus berdatangan hingga adzan sholat Jumat berkumandang. Mobil-mobil komando dari berbagai Federasi dan forum-forum kawasan industri berada didepan dan dibelakang Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Bogor. Mengepung dan menuntut keadilan terhadap penetapan upah 2018 di Kabupaten Bogor.
Sekitar pukul 14:30 WIB, perwakilan Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari elemen buruh keluar dari dalam Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Bogor. Mereka segera naik ke mobil komando FSPMI Bogor.
Satu persatu perwakilan Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari elemen buruh memberikan keterangan dari hasil Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor.
Novianto yang merupakan wakil dari FSPMI Bogor di Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor mengatakan di atas mobil komando, bahwa dari pihak Apindo dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor akan tetap menggunakan PP 78 /2015, yang artinya angka nominal yang dikeluarkan sebesar 3,4 juta rupiah.
Sedangkan dari pihak perwakilan buruh meminta agar rekomendasi dari survey KHL digunakan dalam penetapan upah 2018, dan jika ditambahkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi maka angka nominal yang timbul sebesar 3,8 juta rupiah.
Perbedaan angka nominal inilah yang menjadi polemik pada saat Sidang Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor.
“Kedua angka yang direkomendasikan oleh masing-masing pihak, akan dibawa ke Bupati Bogor,” tutur Novianto.
Lanjutnya, “Setelah Bupati Bogor menentukan angka yang mana yang terbaik, maka angka tersebutlah yang akan direkomendasikan ke Gubernur Jawa Barat”.
Dari pihak buruh Bogor berharap, angka 3,8 juta tersebutlah yang seharusnya dijadikan hasil akhir UMK Kabupaten Bogor.
“Karena sudah jelas, hasil survey di 4 pasar yang berada di Kabupaten Bogor, yang dilakukan oleh FSPMI Bogor pada Oktober yang lalu, merupakan angka real dari Kebutuhan Hidup Layak dari seorang lajang. Itu baru Kebutuhan Hidup Layak dari seorang ladang loh, belum termasuk kebutuhan dari buruh yang sudah menikah dan atau yang sudah memiliki tanggungan seperti anak,” lanjut Novianto.
Di tempat terpisah, Willa Faradian yang merupakan Ketua Konsulat Cabang FSPMI Bogor dan juga Vice President FSPMI Bidang Pengupahan menjelaskan, “PP 78/2015 sangat merugikan buruh. Apalagi dengan adanya Surat Edaran dari Kementerian Tenaga Kerja dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, yang menegaskan bahwa setiap kepala daerah wajib mengikuti penetapan upah berdasarkan PP 78/2015. Hal ini merupakan tindakan yang menyalahi UU 13/2003, dimana penetapan upah ditentukan oleh Dewan Pengupahan daerah.”
Lebih lanjut, menurut Willa, seharusnya aturan yang berada dibawah Undang-Undang mendukung aturan yang diatasnya. Bukan malah menyimpang.
Berdasarkan keterangan dari beberapa anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor dari elemen buruh, untuk penentuan dan penetapan UMSK dan Upah TSK akan dibahas pada Maret 2018.