Iuran Tambahan Pensiun Wajib, Beban Tambahan bagi Pekerja

Iuran Tambahan Pensiun Wajib, Beban Tambahan bagi Pekerja
Wakil Presiden Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI) - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono

Rencana pemerintah mewajibkan iuran pensiun tambahan bagi pekerja melalui Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) adalah kebijakan yang perlu kita sikapi. Terutama karena situasi perekonomian pekerja saat ini sudah sangat tertekan akibat kebijakan yang lahir dari omnibus law UU Cipta Kerja.

Sejak disahkannya UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum di Indonesia sangat kecil. Di beberapa daerah, kenaikan upah buruh bahkan lebih rendah dari inflansi. Jelas, hal ini membuat upah real mengalami penurunan. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Selain itu, beleid sapu jagad ini juga menghilangkan upah minimum sektoral, yang sebelumnya memberikan pengakuan terhadap perbedaan kontribusi pekerja di berbagai sektor. Akibatnya, pekerja di sektor-sektor tertentu, yang secara tradisional mendapatkan upah lebih tinggi, kini terpaksa menerima standar upah yang sama dengan sektor lain yang tidak memiliki tingkat risiko atau tuntutan keterampilan yang sama. Ini menjadi salah satu penyebab mengapa upah pekerja tetap rendah dan semakin jauh dari layak.

Tidak hanya itu, dengan semakin masifnya fleksibilitas tenaga kerja seperti outsourcing dan kontrak jangka pendek, banyak pekerja yang tidak lagi memiliki kepastian kerja. Kondisi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa buruh bisa di PHK dengan mudah dengan pesangon yang murah. Bahkan dengan peningkatan cakupan perlindungan pensiun hingga 40% yang dijanjikan, hal ini tidak akan cukup untuk menutupi kerugian yang dihadapi pekerja akibat rendahnya upah dan ketidakpastian kerja.

Data terbaru yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa lebih dari 9 juta orang dari kelas menengah terpaksa mengalami penurunan kesejahteraan. Ini bukan sekadar angka, tetapi bukti nyata bahwa perekonomian Indonesia tidak berjalan dengan baik. Dalam kondisi seperti ini, menambah beban dengan iuran pensiun wajib tambahan hanya akan memperparah penderitaan, khususnya mereka yang sudah berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan upah yang minim.

Alih-alih memperkenalkan iuran pensiun wajib tambahan, yang pada akhirnya hanya akan menambah beban pekerja, pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan upah minimum dan memastikan bahwa pekerja mendapatkan perlindungan kerja yang lebih baik dengan mencabut UU Cipta Kerja. Penting juga untuk menghentikan praktik-praktik outsourcing dan kontrak yang merugikan pekerja, serta mengembalikan upah sektoral agar pekerja dapat menikmati hasil dari kontribusi yang mereka berikan kepada ekonomi. Dengan begitu, barulah kita bisa bicara soal kebijakan pensiun yang layak, yang tidak memberatkan, tetapi justru melindungi masa depan pekerja di Indonesia.

Ini saatnya kita berpihak pada pekerja, bukan justru menambah beban mereka yang sudah sempoyongan dihantam palu godam kebijakan yang merugikan. 

Dengan demikian, pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK Ogi Prastomiyono sebagaimana dilansir detik.com, yang menyebutkan bahwa pekerja dengan penghasilan melebihi nilai tertentu akan diminta untuk membayar iuran pensiun tambahan secara “sukarela, tetapi wajib,” perlu kita kritik. Meskipun maksud dari kebijakan ini untuk meningkatkan dana pensiun, pemberlakuan iuran tambahan wajib hanya akan membebani pekerja.

Kebijakan ini berpotensi mengurangi daya beli. Bagi banyak pekerja, pendapatan “di atas nilai tertentu” tidak selalu mencerminkan kesejahteraan yang sebenarnya, mengingat tingginya biaya hidup yang terus meningkat, termasuk kebutuhan pokok, perumahan, hingga pendidikan.

Selain itu, kebijakan ini tidak adil, karena mengalihkan beban tanggung jawab perencanaan pensiun kepada individu buruh, alih-alih mendorong pemberi kerja atau negara untuk mengambil peran yang lebih besar dalam memastikan pensiun yang layak tanpa harus menambah potongan gaji buruh. (*)