Jakarta,KPonline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) secara daring pada Rabu (25/8/2021) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Sebanyak enam perkara pengujian UU Cipta Kerja digabung pemeriksaannya dalam persidangan ketujuh ini, yakni Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, 103/PUU-XVIII/2020, 105/PUU-XVIII/2020, 107/PUU-XVIII/2020, 4/PUU-XIX/2021, dan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.
Sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Saksi Pemohon Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021, M. Sidarta, dan Saksi Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021, Said Iqbal.
M. Sidarta mengungkapkan hal-hal terkait proses pembentukan UU Cipta Kerja. Saat ini Sidarta menjadi anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional.
“LKS Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja atau serikat buruh,” ujar Sidarta selaku mantan pekerja PT Dirgantara Indonesia.
Jumlah seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS Tripartit Nasional paling banyak 45 (empat puluh lima) orang yang penetapannya dilakukan dengan memperhatikan komposisi keterwakilan unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja.
“Tugas dan fungsi LKS Tripartit Nasional adalah memberikan pertimbangan, saran, pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. LKS Tripartit Nasional dibentuk oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas LKS Tripartit Nasional dibebankan kepada anggaran belanja instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,” jelas Sidarta.
Disampaikan Sidarta, sejak pidato Presiden RI tertanggal 20 Oktober 2019 hingga draft RUU Cipta Lapangan Kerja diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020, LKS Tripartit Nasional tidak pernah dimintakan saran, pendapat maupun usulan terhadap rencana dan penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja yang belakangan menjadi UU Cipta Kerja. Sidarta mengetahui, mendengar rencana adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja melalui media massa pada saat pidato pelantikan Presiden RI di Gedung MPR/DPR pada 20 Oktober 2019.
“Saya dan anggota LKS Tripartit Nasional periode sebelum saya, tidak pernah diundang oleh pemerintah untuk menyusun, membahas draft RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut. Bahkan tidak menerima draft RUU Cipta Lapangan Kerja dari pemerintah atau dari LKS Tripartit Nasional secara resmi,” tegas Sidarta yang juga mengetahui pemerintah membentuk Satgas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja melalui Keputusan Menteri Perekonomian, yang tidak ada unsur dari serikat pekerja yang duduk di Satgas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Dikatakan Sidarta, tidak dilibatkannya unsur serikat pekerja dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan draft RUU Cipta Lapangan Kerja, maka Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) melakukan penolakan melalui unjuk rasa damai di depan Gedung DPR pada 12 Februari 2020 dan Sidarta terlibat di dalamnya. Ia dan rekan-rekan pekerja diterima oleh DPR. Kala itu DPR justru menyatakan belum menerima draft RUU Cipta Lapangan Kerja dari pemerintah. Setelah demo SPSI membubarkan diri, barulah pemerintah menyampaikan draft RUU Cipta Lapangan Kerja kepada DPR. Sidarta mengetahui hal ini melalui media massa.
Selanjutnya Saksi Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Said Iqbal. Saat ini Said Iqbal menjabat Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Ketua Majelis Nasional Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (MN FSPMI). Ia juga menjabat Pengurus Pusat International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Said menuturkan fakta secara umum mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan hingga pengundangan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang terkait klaster ketenagakerjaan. Said mengungkapkan, serikat buruh tidak pernah diminta dan dilibatkan dalam proses pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Fakta dalam penyusunan hingga pengundangan UU Cipta Kerja, setiap kami menyampaikan pandangan, pemikiran, bahkan sandingan terhadap isi pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja selalu dibilang hoaks. Padahal tidak pernah satu kali pun pemerintah menyampaikan secara terbuka. Bahkan saat naskah RUU Cipta Kerja diserahkan dan dibahas oleh DPR, tidak pernah naskah resmi kami terima. Khususnya perihal klaster ketenagakerjaan,” ucap Said.
Di samping itu, Said bersama rekan-rekan serikat buruh selalu menyampaikan kepada DPR bahwa tidak ada di dunia manapun, undang-undang yang terkait investasi di satu sisi digabung dengan undang-undang untuk perlindungan pekerja dan buruh. Selalu dua mata uang yang terpisah.
“Tapi dalam UU Cipta Kerja, dua-duanya digabungkan sehingga terjadi conflict of interest,” kata Said.
Dijelaskan Said, setelah menyimpulkan fakta dari mulai penyusunan hingga pengundangan, ditemukan fakta bahwa RUU Cipta Kerja sudah disiapkan jauh-jauh hari tanpa melibatkan partisipasi publik dan tidak ada yang meminta bahwa RUU Cipta Kerja dari sisi kelompok buruh, khususnya klaster ketenagakerjaan agar diundangkan dalam UU Cipta Kerja.
Di samping itu, menurut pengamatan Said, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) hanya bertumpu pada investasi seperti disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada 20 Oktober 2019.
“Dipaksakannya pasal-pasal siluman untuk kepentingan para pemilik modal dan menteri-menteri terkait yang berlatar belakang pengusaha. Termasuk juga dukungan dari DPR yang berlatar belakang pengusaha,” tandas Said.
Sebagaimana diketahui, permohonan pengujian UU Cipta Kerja dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 diajukan Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (Pemohon I), Novita Widyana (Pemohon II), Elin Dian Sulistiyowati (Pemohon III), Alin Septiana (Pemohon IV) dan Ali Sujito (Pemohon V). Pemohon I pernah bekerja di perusahaan dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai Technician Helper. Namun akibat pandemi Covid-19, ia mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dari tempatnya bekerja. Dengan diberlakukan UU Cipta Kerja, terdapat ketentuan norma yang menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau Pekerja Kontrak sebagaimana Pasal 81 UU Cipta Kerja. Hal ini menghapus kesempatan warga negara untuk mendapatkan Perjanjian Kerja Tidak Tertentu atau Pekerja Tetap.
Sedangkan Pemohon II adalah Pelajar SMK Negeri I Ngawi, jurusan Administrasi dan Tata Kelola Perkantoran. Pemohon II berpotensi menjadi pekerja kontrak dengan waktu tertentu tanpa ada harapan menjadi pekerja kontrak dengan waktu tidak tertentu, apabila UU Cipta Kerja diberlakukan. Pemohon III adalah mahasiswi pada program studi S1 Administrasi Pendidikan di Universitas Brawijaya dan Pemohon IV adalah mahasiswi pada program studi S1 Pendidikan Administrasi Perkantoran di Universitas Negeri Malang. Berikutnya, Pemohon V adalah mahasiswa pada program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Modern Ngawi (STIKP Modern Ngawi).
Permohonan Perkara Nomor 103/ PUU-XVIII/2020 diajukan Elly Rosita Silaban (Pemohon I) dan Dedi Hardianto (Pemohon II) dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Para Pemohon menguji secara formil Bab IV UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU Bab IV UU Bagian Kedua No. 11/2020 yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c, “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.” Juga Pasal 57 ayat (1), “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.” Pasal 57 ayat (2), Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Para Pemohon Perkara Nomor 105/PUU-XVIII/2020 adalah Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK – SPSI) Roy Jinto Ferianto selaku Pemohon I bersama 12 Pemohon lainnya. Para Pemohon melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Pasal 81 angka 1, Pasal 13 ayat (1) huruf c angka 2, Pasal 14 ayat (1) angka 3, Pasal 37 ayat (1) huruf b angka 4, Pasal 42 angka 12, Pasal 56 ayat (3) dan ayat (4) angka 13, Pasal 57 angka 14, Pasal 58 ayat (2) angka 15, Pasal 59 angka 16, Pasal 61 ayat (1) huruf c angka 20, Pasal 66 angka 23, Pasal 79 ayat (2) huruf b angka 24, Pasal 88 angka 25, Pasal 88A ayat (7), Pasal 88B, Pasal 88C angka 30, Pasal 92 angka 37, Pasal 151 angka 38, Pasal 151A angka 42, Pasal 154A angka 44, Pasal 156 ayat (4) huruf c Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja.
Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja dibangun dengan landasan naskah akademik yang tidak memadai, tidak menjabarkan secara komprehensif analisa mengenai perubahan ketentuan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) Undang-Undang khususnya UU No. 13/2003 dalam Bab IV Ketenagakerjaan Bagian Kedua Ketenagakerjaan, serta tidak mampu menjawab urgensi pentingnya dilakukan perubahan dalam UU No. 13/2003, naskah akademik UU 11/2020 seolah-olah hanya dirumuskan untuk memenuhi formalitas syarat pembentukan undang-undang semata.
Permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. UU Cipta Kerja tidak melalui pelibatan publik yang luas dalam prosesnya hanya melibatkan segelintir pihak saja. Bahkan draf RUU yang disampaikan kepada publik simpang siur alias kontroversial otentisitasnya.
Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK.
Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Secara formil, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan secara materiil, selain meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan, Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Problem konstitusionalitas tersebut terkait dengan tidak terpenuhinya syarat pemuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut dalam Prolegnas menurut ketentuan UU No. 12/2011, tidak dipedomaninya ketentuan mengenai teknik dan sistematika pembuatan undang-undang menurut ketentuan UU No. 12/2011, dan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan UU No. 12/2011. Bahwa dimuatnya RUU No. 11/2020 dalam Prolegnas tidak bisa didasari atas rencana pembangunan jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f UU No. 12/2011 sebab Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hanya dapat disusun untuk menjangkau periode waktu 5 (lima) tahun. (mk)