Deli Serdang, KPOnline – Media adalah hal yang sangat penting untuk menopang tersiarnya karya-karya seperti tulisan, photo, video, dan lain yang berhubungan dengan dunia jurnalistik.
Menganalisi arti junarlistik atau kewartawanan yang memiliki sejarah yang ckup panjang, jurnalistik sendiri memiliki sejarah Kode Etik 5 priode yang diawali dengan Tanpa kode Etik jurnalistik ketika Indonesia baru saja lahit sebagai bangsa yang merdeka ditahun 1945. Selanjutnya lahirlah kode etik jurnalistik oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ditahun 1946.
Setelah berkembangnya dunia kewartawanan, lahir pula organisasi-organisasi wartawan lainya yang membuat Kode Etik Jurnalistik menjadi Priode Dualisme yaitu Kode Etik PWI dan Kode Etik Non PWI. Tahun 1969, Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai wartawan, dan menegaskan seluruh wartawan Indonesia menjadi anggota Organisasi Wartawan Indonesia yang telah disahkan. Padahal pada saat itu belum ada satu organisasi yang disahkan oleh Pemerintah, hingga pada tanggal 20 Mei 1975 Pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia sekaligus mengotomatiskan Kode etik PWI adalah kode etik yang berlaku di Indonesia atau lahirnya kodr etik jurnalistik PWI tahap 2.
Seiring dengan tumbangnua rezim orde baru dan berganti dengan era reformasi, paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah, Apalagi sejak dikeluarkannya UU no 40 tahun 1999 tentang pers (pasal 7 ayat 1) yang membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. Hal ini mengakibatkan banyaknya lahir kode etik jurnalistik dari berbagai macam organisai wartawan atau biasa disebut Priode banyak Kode Etik Jurnalistik.
Kode etik jurnalistik sangatlah penting untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak puklik untuk memenuhi informasi yang benar, maka atas dasar itu wartawan Indonesia menetapkan sedikitnya 11 kode etik dengan memiliki 5 fungsi serta 4 asas kode etik jurnalistik yang lahir pada 14 maret 2006 ditetapkan sebagai kode etik jurnalistik yang berlaku aecara Nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/SK-DP/III/2006.
Sebagaimana hal itu telah tertulis, Afriyansyah mengatakan tidaklah penting jika kita tidak memiliki tujuan, dan sebaliknya pula bahwa tidak juga penting jika kita mempunyai tujuan tetapi tidak mengerti Kode Etik serta cara menulis dan mencari berita.
Dalam pelatihan yang digelar malam hari itu, Afriyansyah yang merupakan Kordinator Media Perdjoeangan FSPMI Sumut juga memaparkan 15 cara mencari dan menulis berita.
“Terus apa gunanya kamu mengetahui cara menulis dan mencari berita?” Tanyanya kepada para peserta.
Setelah memaparkan tentang Kode Etik Jurnalistik dan cara mencari dan menulis berita, Afriyansyah menegaskan bahwa yang dibutuhkan hanya media kampanye.
“Kamu bisa nulis, tahu bagai mana cari berita, mengerti pula tentang kode etik. Terus mau dibawa kemana itu semua? Dibawa tidur, cari uang, atau hanya menjadikan satu kewajiban dari pekerjaan anda yang hanya melepaskan target yang diberikan atasan?” Paparnya membawa para peserta untuk menjadikan tulisan sebagai senjata, alat perjuangan kesejahteraan.
“Bukan menghilangkan kenetralannya, saya rasa hal itu (Netral) hanya menyebabkan kamu akan dijatuhkan dari berbagai sisi, mau itu sisi kiri, sisi kanan, depan belakang, bakalan ada saja yang menganggap kamu berpihak pada satu sisi, tetapi cobalah berdiri dikebenaran. Lebih jelas karena hanya ketidak benaranlah yang akan menjatuhkanmu,” terangnya memberi contoh.
Afriyansyah juga menerangkan kepada para peserta untuk mengunakan Media sebagai alat kampanye kebenaran.
“Ya, Media Kampanye namanya, yaitu segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian perubahan prilaku dari Audiens,” dia menjelaskan arti media kampaye di hadapan peserta di sesi ketiga dalam pelatihan Dasar Jurnalistik yang digelar oleh Media Perdjoeangan dan SumutJnews malam itu.
Sebagai penutup Afriyansyah yang biasa di pangil dengan Abuy ini juga mengatakan bahwa gunakanlah pengetahuanmu berguna untuk orang banyak, untuk kepentingan orang banyak. (Isran Tadora Maha)