Jangan Tinggalkan Pekerja Informal

Transisi yang berkeadilan (just transition) merupakan ikhtiar penting dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Agar transisi ini benar-benar adil, kita harus memastikan seluruh pekerja — termasuk pekerja informal di industri batubara — dilibatkan dan dilindungi hak-haknya. Ini sejalan dengan prinsip no one left behind. Tidak boleh ada satu pun yang ditinggalkan.

Sebenarnya bukan hanya di industri batubara. Apa pun sektor industrinya, keterlibatan kaum buruh dalam transisi energi tidak boleh ditawar. Namun karena saya sedang membicarakan FGD yang diselenggarakan KSBSI dan KSPI yang membahas dialog sosial dan isu-isu pekerja informal dalam konteks transisi energi yang berkeadilan, khususnya untuk industri batubara di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, dalam tulisan ini saya lebih menekankan pada industri batubara. Sebagai informasi, FGD yang saya maksud diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2024, bagian dari project IKI-JET Indonesia.

Saya perlu menggaris bawahi, bahwa pekerja informal memainkan peran vital dalam perekonomian. Mengabaikan mereka dalam proses transisi energi sudah pasti akan mengakibatkan ketidakadilan yang semakin dalam.

Pekerja informal di industri batubara bekerja dalam kondisi tidak stabil dan kurang terlindungi, termasuk di tambang-tambang kecil yang tidak terdaftar secara resmi. Kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional sangat besar, meskipun sering kali tidak tercatat dalam statistik resmi. Itulah sebabnya, tanpa melibatkan pekerja informal di industri batubara, transisi energi tidak akan mencakup seluruh spektrum pekerja yang mendukung roda perekonomian.

Pekerja informal sering kali tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial, kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya yang biasanya dinikmati oleh pekerja formal. Kondisi ini membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi dan ketidakadilan. Ketika transisi energi dilakukan tanpa memperhatikan mereka, risiko ini semakin meningkat, terlebih ketika transisi menyebabkan hilangnya pekerjaan dan sumber pendapatan.

Waktu kerja merupakan salah satu unsur pembeda utama antara sektor kerja formal dan informal. Di sektor kerja formal, waktu kerja diatur dengan ketat dan menjadi perhitungan yang rigid. Sebaliknya, di sektor informal, jarang sekali ada batasan waktu kerja yang jelas.

Pekerjaan di sektor informal sering kali dikaitkan dengan politik “waktu luang” dan “fleksibilitas kerja”, yang ironisnya menjadi alasan untuk membayar pekerja dengan upah murah. Pekerja informal adalah kelas pekerja yang tidak memiliki waktu luang karena bekerja tanpa batasan waktu yang jelas. Tidak ada pemisahan yang jelas antara “jam kerja” dan “jam istirahat”, antara “ruang reproduktif” dan “produktif”. Batasan-batasan tersebut kabur dalam skema kerja informal, namun alih-alih diberikan insentif, para pekerja informal ini justru mengalami eksploitasi terselubung dalam fleksibilitas kerja.

Minimnya supervisi dari pemberi kerja di sektor informal menjadi salah satu penyebab utama ketidakadilan yang dialami pekerja. Banyak perusahaan yang memanfaatkan kondisi ini untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap pekerja. Kebijakan seperti Omnibus Law, yang memicu perusahaan untuk melakukan downsizing usahanya menjadi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), memperburuk situasi ini. Dengan berbagai fasilitas kemudahan yang didapatkan, seperti insentif pajak dan tidak adanya kewajiban pembayaran upah di bawah upah minimum, perusahaan semakin terdorong untuk mengurangi skala usahanya dan menghindari kewajiban terhadap pekerja.

KSPI dan KSBSI memetakan isu pekerja informal dalam transisi yang berkeadilan. (Foto: Istimewa)

Dalam konteks transisi energi yang berkeadilan, keterlibatan serikat pekerja menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa pekerja informal di industri tidak ditinggal. Serikat pekerja harus memperjuangkan hak-hak pekerja informal, termasuk waktu kerja yang jelas, upah yang layak, dan perlindungan sosial. Serikat juga harus menjadi jembatan antara pekerja informal dan pembuat kebijakan, sehingga suara pekerja informal dapat didengar dan diperhitungkan dalam setiap keputusan yang diambil.

Dalam beberapa kesempatan saya sampaikan, mengorganisir pekerja informal dalam serikat pekerja adalah langkah penting untuk memastikan mereka mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang layak. Dengan bergabung dalam serikat pekerja, kita dapat memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif, mendapatkan akses ke pendidikan dan pelatihan, serta memastikan suara mereka didengar dalam proses pembuatan kebijakan. Melalui serikat pekerja, pekerja informal dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus memastikan terwujudnya transisi energi yang berkeadilan.

Di sini, pemerintah harus memperkuat regulasi yang melindungi pekerja informal. Termasuk memberikan akses yang luas untuk berserikat.

Tentu saja, serikat pekerja harus terus mengadvokasi hak-hak pekerja informal dan memastikan bahwa mereka terlibat dalam proses transisi energi.

Ancaman ketidakadilan dalam transisi energi sangat nyata bagi pekerja informal di industri batubara. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret dan kebijakan yang tepat diperlukan untuk melibatkan mereka dalam proses ini. Melalui kebijakan yang inklusif, dialog sosial yang konstruktif, dan perlindungan hak-hak pekerja informal, kita dapat memastikan bahwa transisi energi yang berkeadilan tidak meninggalkan satu pun pekerja di belakang.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan