Jakarta, KPonline – Door Duistermis tox Licht. Habis gelap terbitlah terang. Itulah buku dari kumpulan surat-surat RA. Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu menjadi bukti betapa besar keinginan Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Itulah pentingnya memahami konstruksi sosial-budaya yang tumbuh di masyarakat.
Selama ini, keseharian masyarakat telah dipenuhi dengan beragam simbol. Termasuk dalam urusan perempuan. Budaya patriarkhi kerap menyimbolkan perempuan dalam wilayah domestik semata.
Kaitannya dengan Kartini, perayaan tentang Hari Kartini lebih banyak dilakukan dengan perayaan ikonik seperti pawai ibu-ibu memakai kebaya, lomba memasak dan sejenisnya. Padahal, hidupnya cita-cita dan perjuangan Kartini semasa terlampau besar untuk hanya direduksi dalam perayaan-perayaan yang sifatnya seremonial dan simbolik seperti itu.
Laki-laki dan Perempuan, Sama atau Beda?
Isu yang diperjuangkan oleh Kartini kerap dilupakan. Beberapa persoalan substansial yang disuarakan dan menimpa Kartini ketika itu.
“Kemerdekaan perempuan, pendidikan bagi perempuan, mendengarkan suara perempuan, peran publik perempuan, dan problem kritis lain yang menimpa perempuan seperti perkawinan anak, kematian ibu karena melahirkan,”
Di era Globalisasi peranan perempuan lebih banyak. Tidak sedikit pekerja buruh perempuan memegang peran. Hal ini juga tak lepas dari diskriminasi dan eksploitasi di tempat kerja. Seperti cuti haid yang masih dipersulit, ibu hamil yang bekerja kena shift dan di tempatkan wilayah kerja tak layak, kekerasan di tempat kerja dan pelecehan seksual.
Bukan perkara mudah menjadi buruh perempuan di pabrik. Menjadi seorang ibu atau calon ibu yang tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi sebagai buruh kasar. Menjadi buruh karena tuntutan ekonomi. Ini salah satu penyebab kematian anak dan ibu saat melahirkan.
Diketahui perempuan mempunyai posisi sentral dalam keluarga : sebagai istri, mitra suami, sebagai ibu rumah tangga, sebagai ibu pendidik pertama dan utama karena pendidikan berlangsung sejak janin masih dalam kandungan ibu dan sebagai ibu bangsa yang mempersiapkan generasi penerus.
Banyaknya masalah kelahiran pada buruh perempuan, 12 minggu cuti melahirkan tidak cukup. Maka saatnya dengan jiwa dan semangat Kartini, buruh perempuan perjuangkan meratifikasi konvensi ILO 183 tentang cuti melahirkan.
Hari Kartini harus dimaknai secara lebih substansial, dengan menelaah pemikiran-pemikiran Kartini dan melanjutkan perjuangannya. Buruh perempuan harus yang kritis, cerdas, dan peduli dengan kondisi sosial masyarakatnya.
“Kekuatan menulis dan mengekspresikan pemikiran dan harapan ini harus ditiru”. Salah satu yang pernah dilakukan oleh buruh perempuan adalah dengan menerbitkan sebuah buku berisi 50 esai yang seluruhnya ditulis oleh perempuan, berjudul ‘Perempuan di Garis Depan’.
(Endah W)