Bogor, KPonline – Sore menjelang. Temaram lembayung menyapa letih yang mendera seharian tadi. Peluh menetes, menelusuri kening, pipi hingga leher, tidak hanya membasahi, peluh itu juga meninggalkan noktah basah dan noda di kerah baju yang kukenakan.
Gesekan daun ketapang dan daun mangga, terdengar merdu di telinga. Karena esok, suara merdunya tak kan mungkin bisa kunikmati lagi. Karena gerbang pabrik akan dikunci, digembok, dan entah kapan akan dibukakan kembali. Bagi kami, para buruh pabrik, hal itu merupakan nada-nada kehidupan. Kadang nadanya naik, kadang nadanya turun. Kadang merdu, terkadang pula suaranya cukup menyakitkan telinga.
Gesekan daun ketapang dan mangga, seraya menjadi pengobat bagi kami dikala senja. Setelah 2 jam menambah beban kerja, ditemani segelas kopi yang diseruput oleh beberapa bibir, suara gesekan daun ketapang dan daun mangga dipojokkan pabrik, seakan menjadi suara penghantar lelah. Deru suara mesin, hantaman palu bertumbukan dengan besi lainnya, dan nada tinggi dari mandor produksi, terobati dengan suara gesekan daun ketapang dan daun mangga.
Semilir angin yang gemulai, kembali menggerakan dahan-dahan. Suara gesekan daun kembali terdengar. Hamparan kardus yang menjadi alas tidur ikonik kaum buruh, ditiduri oleh beberapa orang yang nampak lelah. Ada yang nampak bermain-main dengan ponselnya. Beberapa berbincang serius dipojokkkan sana. Tapi lebih banyak yang terdiam. Pikiran menerawang tak tentu arah. Hanya satu, mungkin, yang terus dan masih saja dipikirkan.
“Apakah besok kami masih bisa mendengarkan suara gesekan daun ketapang dan daun mangga disini lagi? Apakah besok, setelah menanda tangani surat PHK, kami masih bisa bekerja kembali? Ataukah sampai disini cerita kami? (RDW)