Jakarta,KPonline – Setelah rencana kenaikan iuran program BPJS Jaminan Kesehatan, pemerintah Jokowi juga berencana mencabut subsidi listrik 24,4 juta pelanggan 900 VA pada 2020 mendatang. Hal ini terungkap dalam rapat panitia kerja (Panja) anggaran terkait subsidi di Ruang Badan Anggaran DPR, Selasa (3/9/2019).
Usul pencabutan subsidi 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA datang langsung dari Kementerian ESDM. Alasannya karena 24,4 juta pelanggan tersebut merupakan rumah tangga mampu (RTM).
Total jumlah pelanggan yang mendapatkan subsidi listrik mencapai 61 juta pelanggan. Pelanggan tersebut terdiri dari 23,9 juta pelanggan listrik 450 VA, 31,5 juta pelanggan listrik 900 VA dan 5,7 juta sisanya pelanggan yang terbagi pada 24 golongan lainnya. Khusus untuk pelanggan listrik 900 VA, terdapat dua bagian yakni pelanggan yang miskin dan pelanggan yang mampu.
Total pelanggan rumah tangga mampu inilah yang mencapai 24,4 juta pelanggan. Total subsidi untuk 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA ini sebesar Rp 6,9 triliun. Subsidi inilah yang akan dicabut oleh pemerintah. Akibat pencabutan subsidi listrik 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA-RTM ini, anggaran subsidi listrik hanya Rp 54,7 triliun pada 2020. Angka ini lebih kecil dari usulan di RAPBN 2020 yang sebesar Rp 62,2 triliun.
Sementara itu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah melakukan uji publik terlebih dahulu mengenai kenaikan iuran BPJS tersebut. Pasalnya, menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, BPJS saat ini bukan lagi BUMN, melainkan bentuknya sudah dana perwalian.
Said Iqbal menjelaskan, pemilik BPJS ada tiga pihak, di antaranya pengusaha yang membayar iuran BPJS, penerima upah yaitu buruh yang bekerja atau iuran mandiri, kemudian ada pemerintah melalui penerima bantuan iuran (PBI).
“Oleh sebab itu pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menaikkan iuran tanpa melakukan uji publik. Pemerintah harus tahu apakah rakyat sebagai pembayar iuran setuju dengan kenaikan itu,” Ungkapnya di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Menurut Iqbal, pemerintah juga harus melihat apakah kenaikan iuran sebagai satu-satunya jalan untuk menutup defisit BPJS. Menurutnya, dalam UU BPJS dan UU SJSN disebutkan bahwa sudah menjadi tugas negara kalau terjadi defisit.
“Misalnya terjadi epidemis, bencana alam, atau mungkin kesalahan pengelolaan seperti saat ini, maka bisa menggunakan dana kontingensi,” ujarnya.
Dia menilai, kenaikan iuran BPJS akan memberatkan masyarakat. Menurutnya, hal itu juga bukan solusi untuk menyelesaikan defisit.
“Yang seharusnya dilakukan adalah menambah kepesertaan BPJS Kesehatan dan menaikkan besarnya iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayarkan oleh pemerintah,” jelas dia.
Pemerintah, lanjut Iqbal, juga harus memastikan 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk anggaran kesehatan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan.