Jakarta,KPonline – Peringatan Hari Kartini yang dijadikan tonggak emansipasi kaum perempuan di tanah air dirayakan dengan berbagai macam kegiatan. Penggunaan kebaya dan sanggul dalam peringatan kelahiran Kartini, sepertinya menjadi pemandangan yang lumrah bagi masyarakat Indonesia.
Perasaan Kartini tentang kesengsaraan hidup dan nasib kaum perempuan di zamannya dan pikiran serta cita-citanya untuk memperbaiki hal itu melalui pendidikan diungkapkannya dalam surat kepada teman-temannya di Belanda. Dia juga menulis tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu pemerintah kolonial, serta membicarakan hal-hal yang menyakiti hati bangsa Indonesia.
Lahir 21 April 1879 sebagai anak bupati Jepara dan kawin- lebih tepat “dikawinkan”-dengan bupati juga, bupati Rembang. Dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika kemudian suaminya mengambil “selir” tiga orang dan hidup bersama di bawah satu atap meski dia tetap istri “padmi”, istri utama. Justru poligami ini yang selamanya ditentang Kartini. Untung dia masih sempat mewujudkan cita-citanya, kegiatan mendidik anak-anak rakyat, termasuk anak perempuan di rumahnya. Dia meninggal di usia sangat muda, 25 tahun, sesudah melahirkan anak pertama.
Tujuh tahun sesudah Kartini meninggal, pada 1911, seorang pejabat Belanda yang mengenalnya dan keluarga bupati Jepara dari dekat, Mr JR Abendanon, berhasil mengumpulkan 106 dari surat-surat Kartini yang ditulis dalam bahasa Belanda. Surat-surat itu diterbitkan berupa buku berjudul Door Duisternistot Licht. Buku ini mendapat sambutan positif yang luas di kalangan para intelektual Barat, bukan hanya Belanda, melainkan juga Inggris, Perancis, dan Amerika. Berbagai ulasan dengan judul yang berbeda diterbitkan di Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika.
Di era Modern khususnya pada buruh perempuan, perlakuan diskriminatif juga masih sering terjadi, bahkan berujung pada kekerasan. Untuk itu perlu di lakukan upaya antisipasi dan preventif yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan dan pengusaha terhadap ancaman kekerasan terhadap buruh.
Banyaknya kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan seksual seperti mengomentari bentuk tubuh atau cara berpakaian buruh perempuan, dipaksa kencan oleh atasan bahkan diperkosa. Kemudian, saat mengajukan cuti haid buruh perempuan yang bersangkutan diperiksa dengan cara menunjukan darahnya, masih sering kita temui.
Kekerasan fisik seperti dipukul, dijewer, dicubit, dilempar benda keras dan digebrak meja, kekerasan verbal misalnya diancam atau diintimidasi dengan kata kasar, menakut-nakuti, menghina dan memaki.
Sementara buruh perempuan banyak yang tidak melaporkan alias diam saja ketika ada pelecehan seksual yang terjadi. Pasalnya buruh khawatir ketika akan melapor takut dipecat.
Selain itu pemaksaan kerja lembur dan wajib memenuhi target produksi tertentu juga sering kita jumpai pada buruh perempuan. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Ika, misalnya, mengungkapkan bahwa buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh perempuan yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali. Itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam perusahaan.
Pola tersebut seolah menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus berulang. Posisi perempuan yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan tugas itu. Dalam situasi semacam itu buruh perempuan tentu membutuhkan bantuan sebuah organisasi pekerja yang kuat dan berpihak kepada kepentingan pekerja sehingga tercipta relasi industrial yang lebih adil.
Di sisi lain pengurus serikat pekerja yang sebagian besar laki-laki malah kadang meremehkan masalah itu. Buruh perempuan sendiri sulit menyelesaikan kasus tersebut.
Untuk itu semoga semangat kartini bisa menular ke buruh-buruh perempuan agar kaum perempuan tetap bisa memperjuangkan hak-haknya, bahkan sebagai pekerja. Sebagai kaum perempuan, Hari Kartini bermakna agar selalu memperjuangkan haknya agar bisa setara dalam dunia kerja, agar pekerja perempuan tidak diremehkan.(ete)