Kaum Buruh Sedunia, Perbanyaklah Bercinta

Kaum Buruh Sedunia, Perbanyaklah Bercinta

“Hidup untuk cinta, bukan untuk pabrik. Kurangi jam kerja, perbanyaklah bercinta.”

Ini adalah slogan baru kaum buruh sedunia. Sudah bukan zamannya lagi kerja hingga tengah malam untuk mengejar lemburan. Cukuplah kerja di pabrik hingga lebih dari 12 jam sehari menjadi bagian dari masa lalu. Bukankah nenek moyang gerakan kaum buruh, melalui apa yang kemudian kita kenang sebagai May Day (Hari Buruh Internasional), berhasil memperjuangkan jam kerja hanya sebesar 8 jam sehari dari yang semula 12 hingga 14 jam? Lha ini kalian malah ngeyel kepingin kembali ke masa kegelapan itu.

Saat ini, di berbagai negara, buruh bahkan mulai memperjuangkan penurunan jam kerja menjadi hanya 6 jam sehari. Tidak cukup dengan itu. Sudahlah jam kerja minta dikurangi, buruh juga tidak melupakan kodratnya untuk menuntut kenaikan upah. Ya itu tadi, karena hidup bukan hanya untuk pabrik.

Jangan khawatir ketika ada yang membully buruh tak tahu diri. Missal ada yang bilang, “Gue aja yang lulusan sarjana musti kerja hingga malam hanya untuk mendapatkan gaji pas-pasan. Lo yang hanya lulus SMP minta gaji gede.”

Nggak usah kaget dengan kaum ngehek seperti itu. Gimana nggak ngehek, dia pikir dia yang punya pabrik. Sudahlah tahu gaji kecil tapi nggak punya keberanian untuk sekedar bilang, “Hey bos. Naikkan gaji kami!” Giliran kemudian ada keberhasilan dari yang diperjuangkan gerakan buruh, tanpa malu ikut menikmati. Bahkan sambil bilang, “Ini kan karena kebaikan hati penguasa dan pengusaha.”

Ngehek kan?

Sama-sama nguli mbok ya tahu diri.

Kalian masih ingat dengan romantika saat libur lebaran kemarin, bukan. Berduyun-duyun, bersama keluarga, kaum buruh mudik ke kampung halaman. Ada dua teori mengapa buruh bisa melakukan itu. Pertama karena pabrik sedang tidak berproduksi. Libur. Kedua karena baru saja mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR).

Coba kalau bosmu memerintahkan lebaran tetap kerja. Niscaya hanya mereka yang gagah berani lah yang berontak dan meminta diberi waktu untuk bertemu dengan handai taulan. Ketika kemudian diputuskan libur, atas desakan para pemberani itu, dengan tanpa malu orang-orang yang tadinya menggerutu bisa jadi yang paling pertama angkat koper untuk pulang kampung.

Kesimpulannya, memiliki banyak waktu untuk keluarga, bersosialisasi dengan sesama, plus memiliki uang (nggak usah banyak yang penting cukup), merupakan saat-saat yang menyenangkan.

Tentu, kamu tahu kan dengan adanya PP No. 78 Tahun 2016 tentang Pengupahan. Yups, benar sekali. Itu adalah Peraturan Pemerintah yang salah satu isinya menetapkan rumus kenaikan upah berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya peraturan ini, kaum buruh yang tadinya memiliki hak untuk ikut berunding menetapkan kenaikan upah mínimum menjadi tidak bisa lagi.

Peraturan ini memberikan pelajaran berharga bagi kita. Bahwa upah minimum ditentukan oleh rezim. Bukan ditetapkan berdasarkan kebaikan hati pemilik pabrik. Ngomong kasarnya, kerja sampai mampus sekalipun, selama regulasinya masih seperti ini, nasibmu ya akan gitu-gitu aja.

Nasehatnya, jangan sampai pabrik memberangus kehidupanmu. Percayalah, jauh lebih indah ngobrol dengan manusia ketimbang curgat dengan mesin. Lihatlah sekeliling. Perhatikan sekitarmu. Barangkali ada temanmu yang saat ini sedang dikriminalisasi karena memperjuangkan kebijakan yang berpihak untuk kaum buruh — untukmu juga.

Jangan sampai kita menua dan kemudian menyesali, kehidupan kita hanya gini-gini aja. Percayalah, nasib suatu kaum tidak akan berubah ketika kaum itu sendiri tidak akan merubahnya.

Mumpung belum terlambat. Bergabunglah dengan mereka yang memperjuangkan peradaban. Rayakan kebersamaan dengan sepenuh cinta. Hidup ini tidak hanya seluas halaman pabrikmu. (*)