Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) baru-baru ini menuntut kenaikan tunjangan jabatan sebesar 142%, sebuah tuntutan yang mengejutkan banyak pihak. Sebagai bagian dari kelas pekerja, kita memahami dan mendukung upaya untuk mendapatkan upah yang layak, termasuk bagi para hakim. Bagaimanapun, setiap pekerja, tidak peduli apa pun posisinya, berhak mendapatkan penghargaan yang setimpal dengan kerja kerasnya. Namun, tuntutan ini tidak boleh membuat kita melupakan bahwa masih ada jutaan buruh di Indonesia yang upahnya jauh di bawah layak, dan bahkan sering kali terhalang oleh kebijakan yang lebih menguntungkan pemodal daripada pekerja.
Hakim, sebagai penjaga keadilan, memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat. Oleh karena itu, mereka memang layak mendapatkan kesejahteraan yang setimpal. Namun, melihat gaji dan tunjangan yang sudah mencapai puluhan juta, tuntutan kenaikan hingga 142% menjadi cerminan ketidakadilan yang lebih besar. Terutama ketika kelas pekerja seperti buruh justru dibatasi oleh aturan-aturan seperti Omnibus Law, yang mempersempit ruang kenaikan upah dan menghilangkan jaminan kesejahteraan.
Kita tidak memandang rendah hak para hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka. Keadilan upah adalah prinsip yang universal dan harus berlaku bagi semua. Namun, upaya tersebut jangan sampai dilakukan dengan mengabaikan kenyataan pahit yang dihadapi buruh. Regulasi yang ketat mengenai upah minimum, serta berbagai hambatan hukum yang membatasi ruang buruh untuk memperjuangkan hak-haknya, menunjukkan bahwa negara cenderung lebih memperhatikan elit daripada mayoritas pekerja. Apakah adil jika tunjangan para hakim dinaikkan drastis, sementara buruh yang upahnya belum layak terus dihadapkan pada regulasi yang menghambat kenaikan upah?
Tentu saja, kita mendukung kesejahteraan yang adil bagi semua, termasuk para hakim. Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa ketimpangan ini tidak boleh semakin lebar. Buruh juga layak mendapatkan kenaikan upah yang wajar dan akses pada kesejahteraan yang memadai, tanpa harus terus dibebani dengan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada pemilik modal. Kesejahteraan hakim dan pekerja tidak boleh menjadi dua kutub yang saling bertentangan; keduanya harus diperjuangkan bersama-sama demi menciptakan keadilan sosial yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini, kita mendesak agar pemerintah tidak hanya memperhatikan tuntutan dari kelompok tertentu, tetapi juga memberikan ruang bagi buruh untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Keadilan harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang berada di puncak piramida sosial. Buruh Indonesia telah terlalu lama berjuang dengan upah yang tidak layak, dan kini saatnya pemerintah bertindak adil dengan memperjuangkan hak-hak seluruh pekerja, tanpa terkecuali.
Jadi, mari kita perjuangkan upah layak untuk semua, dari hakim hingga buruh. Keadilan ekonomi harus menyentuh semua kelas, dan setiap kebijakan harus didasarkan pada prinsip yang tidak memiskinkan satu pihak demi menguntungkan pihak lain.