Dampak Kecerdasan Buatan bagi Buruh

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi salah satu topik paling hangat dalam diskusi teknologi dan masa depan pekerjaan. Teknologi ini menjanjikan peningkatan efisiensi dan produktivitas. Namun di sisi lain, memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kaum buruh.

Tertarik dengan isu ini, saya hadir dalam seminar bertajuk “Kecerdasan Buatan dan Dampaknya pada Pasar Kerja di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kantor ILO Jakarta dan Timor Leste, Kamis (20/6). Saya rasa, penting bagi kita untuk mulai serius mendiskusikan dampak negatif AI terhadap kaum buruh.

Salah satu dampak paling signifikan dari AI adalah otomatisasi pekerjaan. Banyak pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan tenaga manusia kini dapat dilakukan oleh mesin dengan bantuan AI. Misalnya, dalam industri manufaktur, robot yang dilengkapi dengan AI dapat melakukan tugas-tugas seperti perakitan dan pengemasan dengan lebih cepat dan akurat.

Banyak pekerjaan yang mengalami transformasi. Untuk menyebut satu contoh, pekerjaan di sektor keuangan seperti analisis data dan manajemen risiko kini semakin mengandalkan AI untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi. Ini menciptakan kebutuhan baru akan tenaga kerja yang mampu mengoperasikan dan mengelola sistem AI.

Pada saat yang sama, penerapan AI juga dapat menciptakan pekerjaan baru. Industri teknologi yang berkembang pesat membutuhkan banyak tenaga kerja di bidang pengembangan perangkat lunak, analisis data, dan keamanan siber. Namun demikian, ini memunculkan tantangan besar berupa kesenjangan keterampilan. Banyak tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja dengan teknologi AI.

Meningkatkan pendidikan dan pelatihan agar tenaga kerja Indonesia siap menghadapi perubahan ini adalah solusi. Tetapi masalahnya, dengan pendidikan yang masih terbilang mahal, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi kelas pekerja.

AI memiliki potensi besar untuk mengubah lanskap pasar kerja di Indonesia. Dengan penerapan yang tepat dan strategi yang matang, AI dapat meningkatkan produktivitas dan menciptakan lapangan kerja baru yang berkualitas. Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa tenaga kerja Indonesia siap menghadapi perubahan yang dibawa oleh teknologi ini.

Di titik ini, serikat pekerja memiliki peran penting dalam menghadapi perkembangan AI.

Serikat pekerja harus ikut memastikan bahwa adopsi teknologi baru tidak mengorbankan hak dan kepentingan kaum buruh. Serikat pekerja musti mengadvokasi kebijakan yang menjamin perlindungan sosial dan pekerjaan yang layak di tengah perubahan teknologi.

Selain itu, serikat pekerja dapat menjadi jembatan antara pekerja dan manajemen dalam mengelola perubahan yang dibawa oleh AI. Serikat dapat mendorong adanya strategi pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terdampak.

Dan yang tidak kalah penting, serikat pekerja juga berperan dalam memastikan implementasi AI dilakukan secara etis dan bertanggung jawab. Ini termasuk memperjuangkan transparansi dalam penggunaan data dan algoritma yang mempengaruhi kondisi kerja dan pengambilan keputusan di tempat kerja.

Pada akhirnya saya ingin mengatakan, serikat pekerja harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan terkait penggunaan AI. Keterlibatan ini penting untuk memastikan bahwa kepentingan pekerja terlindungi dan dampak negatif dari otomatisasi dapat diminimalisir. Dengan partisipasi serikat, kebijakan dapat mencakup pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak, pengaturan etis penggunaan AI, dan jaminan terhadap hak-hak tenaga kerja.

Ini juga membantu dalam menciptakan lingkungan kerja yang adil dan inklusif, di mana teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan