Jakarta, KPonline – Setelah diprotes keras oleh Buruh Migran Indonesia dan para pendukungnya di Hong Kong terkait cuitannya di twitter yang berbunyi, “Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela…” dan penyalahgunaan data tidak akurat tentang buruh migran di Hong Kong yang menyebutkan ada 1.000 kelahiran anak TKI yang tidak diinginkan dan 30% buruh migran mengidap HIV/AIDS di Hong Kong, tim Pengawas TKI DPR RI pimpinan Fahri Hamzah datang ke Hong Kong untuk berdialog dengan organisasi-organisasi buruh migran.
Kedatangan mereka ke Hong Kong bertujuan untuk mendengar dan mencari masukan terkait revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran di Luar Negeri. Meregulerkan proses dialog antar BMI dengan DPR RI agar DPR paham apa yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan buruh migran Indonesia.
Menyikapi kehadiran Fahri di Hong Kong, Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Sringatin berharap kedatangan para wakil rakyat tidak hanya formalitas atas respon terhadap protes yang kami sampaikan beberapa waktu lalu. Tapi sudah waktunya, DPR RI selaku perwakilan rakyat melibatkan buruh migran secara langsung dalam pembuatan kebijakan yang bersangkutan dengan kepentingan buruh migran.
Baca juga: Kicauan Fahri Rendahkan Martabat dan Harga Diri TKI
Proses revisi UUPPTKILN Nomor 39/2004 dan berbagai peraturan lainnya, termasuk moratorium dan program roadmap 2017 yang digembor-gemborkan dapat melindungi buruh migran dan menyelesaikan persoalan buruh migran, tidak pernah melalui proses musyawarah dan dialog terbuka dengan berbagai organisasi buruh migran dan lembaga pendukungnya. Demikian disampaikan dalam siaran pers yang diterima KPonline.
Hal ini terjadi karena, selama ini pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui buruh migran sebagai pekerja, tidak pernah melindungi hak-hak buruh migran dan tidak pernah mengakui organisasi serikat buruh di dalam hukum Indonesia. Dari sekian banyak peraturan dan terobosan yang diciptakan pemerintah, tidak ada satu pun yang terbukti dapat memecahkan persoalan buruh migran. Karena bagi pemerintah Indonesia, hakikatnya buruh migran hanyalah objek yang tidak punya hak menentukan nasibnya sendiri dan hanya dijadikan sumber pendapatan devisa negara.
Tindakan Fahri Hamzah, dalam hal ini hakikatnya telah menunjukkan adanya indikasi bahwa para pembuat kebijakan di DPR RI, khususnya tim pengawas TKI, tidak memahami realitas kondisi buruh migran. Lebih buruk lagi, mereka mempunyai prasangka yang merendahkan buruh migran, khususnya pekerja rumah tangga yang rentan kekerasan.
Baca juga: Bertemu Perwakilan Buruh Migran, Fahri Hamzah Janji Secepatnya Selesaikan RUU PPILN
Tanpa perubahan fundamental di dalam hukum Indonesia, maka kondisi buruh migran tidak akan pernah berubah.
Oleh sebab itu, maka pemerintah Indonesia, khususnya DPR RI berkewajiban untuk mewujudkan tuntutan buruh migran, diantaranya:
1. Kami menuntut sebuah dialog yang membahas kebijakan tentang buruh migran dan anggota keluarganya. Melalui dialog ini diharapkan tidak ada lagi pemahaman yang keliru terhadap buruh migran seperti yang dilakukan oleh bapak Fahri Hamzah.
2. Revisi UU No. 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri harus mengakui dan menjamin hak dasar buruh migran sebagai pekerja dan anggota keluarganya seperti yang tertulis di dalam Konvensi PBB 1990, Konvensi ILO 188 dan 189, antara lain: (a) Menghentikan kewajiban buruh migran untuk diproses PJTKI/Agen sementara selama ini pengalaman buruh migran dengan lembaga ini justru lebih merugikan dan memperbudak, (b) Menjamin hak libur bagi seluruh buruh migran di luar negeri, (c) Menciptakan standarisasi kontrak kerja yang diakui di dalam dan diluar negeri, (d) Menjamin hak buruh migran menuntut PJTKI yang melakukan pelanggaran, (e) Hak menuntut ganti rugi bagi buruh migran yang menjadi korban pelanggaran PJTKI, dan (f) Melindungi dan menjamin hak asasi manusia buruh migran tidak berdokumen
Baca juga: Fadila Rahmatika, TKI yang Disiksa Majikannya
3. Demi terwujudnya Konvensi PBB 1990 dalam revisi UUPPTKILN No. 39/2004, maka dengan ini kami menuntut supaya dilibatkan secara langsung dalam setiap pembahasannya. Dengan harapan pemerintah tidak lagi memperlakukan buruh migran sebagai objek pembangunan, sumber pendapatan devisa negara dan solusi singkat untuk mengatasi kemiskinan.
4. Kami menuntut pengakuan terhadap organisasi dan serikat buruh migran di dalam revisi UUPPTKILN No. 39/2004 dan peraturan lain yang berkaitan dengan buruh migran. Dengan pengakuan ini, maka partisipasi kami dan hak kami sebagai buruh migran akan lebih terjamin.
Kami menuntut suara kami di dengar, martabat kami dihargai dan hak kami dilindungi. Jangan bicara tentang kami tanpa kami karena kami buruh bukan budak.
Foto: Lennie Chamello