Jakarta, KPonline – Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) akan mengadakan diskusi terbatas (FGD) pada Kamis (16/3/2017). Acara ini bertema, Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Untuk Iklim Tenaga Kerja yang Kondusif.
Disebutkan, tujuan FGD ini adalah untuk mendapatkan masukan terkait upaya merevisi UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Di dalamnya termasuk aspek, namun tidak terbatas pada: (i) BPJS Ketenagakerjaan, (ii) PHK dan Pesangon, (iii) Outsourcing dan Perjanjian Kerja, (iv) Perselisihan Hubungan Industrial, dan (v) Keberadaan Tenaga Asing dalam konteks MEA.
Dalam jadwal, Pembicara dan Pembahas dalam FGD adalah sebagai berikut: Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf, Tim Kajian UU Ketenagakerjaan Endang Sri Soesilawati, Tim Kajian UU Ketenagakerjaan Soekarni, Dirjen Pembinaan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang, Deputi Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi, Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan, dan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yorrys Raweyai.
Dalam kerangka acuan FGD tersebut, disebutkan latar belakang rencana revisi UU 13/2003 adalah sebagai berikut:
Pada skala mikro, pola hubungan industrial antara pekerja dengan perusahaan merupakan aspek penting dalam menentukan keberlangsungan kepentingan kedua belah pihak. Pada skala makro, hal ini juga menjadi salah satu faktor yang menentukan kinerja ekonomi suatu negara. Di satu sisi, pengusaha umumnya menginginkan keuntungan besar sehingga antara lain selalu berupaya menekan semua komponen biaya produksi, termasuk biaya yang terkait jasa pekerja. Di sisi lain, pekerja menginginkan upah tinggi atau kompensasi lain yang mampu meningkatkan kesejahteraannya. Meskipun keduanya mempunyai perbedaan kepentingan, namun satu sama lain sebenarnya tidak bisa saling meniadakan. Pekerja membutuhkan pengusaha dan sebaliknya.
Namun, menentukan pola hubungan industrial yang ideal bukanlah persoalan mudah, Karena secara diametral kedua belah pihak mempunyai kepentingan berbeda. Untuk menjembatani dua kepentingan ini, pemerintah sebagai bagian dari komponen hubungan industrial kemudian hadir sebagai penengah melalui berbagai regulasi. Tujuannya tentu untuk menemukan titik temu hubungan industrial yang saling menguntungkan. Pada saat ini, payung regulasi hubungan industrial tertuang dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Dalam praktiknya, UU itu tidak sepenuhnya mampu mengakomodasi kepentingan yang berbeda tersebut. Pelaksanaan UU No. 13/2003 justru melahirkan beberapa kontroversi. Sudut pandang pekerja berseberangan dengan sudut pandang pengusaha, sehingga kedua belah pihak sulit menemukan titik keseimbangan yang saling menguntungkan. Kalangan dunia usaha umumnya menyatakan, sebagai contoh, UU ini terlalu kaku dan kurang mampu memberikan kepastian hukum. Menurut mereka, kondisi demikian mengakibatkan ruang gerak pengembangan bisnis menjadi terbatas. Ketentuan tentang besaran pesangon dan ketiadaan hak pengusaha untuk melakukan PHK merupakan salah satu alasannya. Di sisi lain, pihak serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) menganggap UU ini telah memperburuk kesejahteraannya. Misalnya, SP/SB menilai sistim kontrak dan outsourcing sebagai faktor penting yang menghilangkan aspek kepastian kerja sehingga mereka sangat merasakan adanya job insecurity.
Berbagai persoalan itu mendorong beberapa pihak mengajukan uji materi UU No. 13/2003 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai dengan pertengahan 2016, UU ini sudah 17 kali diuji di MK dengan hasil 9 dikabulkan, 2 masih dalam proses dan sisanya dicabut dan ditolak. Pasal-pasal yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi meliputi:
Tahun 2004: MK membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan kepada pengusaha memecat secara sepihak buruh yang dituduh melakukan kesalahan berat.
Tahun 2010: Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur soal syarat perundingan Perjanjian Kerja Bersama dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Tahun 2011: Pasal 155 ayat (2) tentang upah untuk diuji dan dikabulkan MK sebagian.
Tahun 2011: MK mengabulkan permohonan terkait pasal yang mengatur mengenai outsourcing (pasal 65 dan pasal 66). MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Berdasarkan hal itu, secara faktual UU No. 13/2003 sebagai sumber hukum utama yang mengatur hubungan antara pekerja dengan pengusaha sudah tidak utuh lagi. Beberapa pasalnya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum atau menjadi “pasal ompong”. Selain adanya putusan MK terhadap beberapa pasal dalam UU No. 13/2003, sebagian kalangan juga menilai bahwa beberapa pasal UU ini bersifat multi tafsir sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda antara pengusaha dengan SP/SB. Ditambah dengan aspek pengawasan implementasi yang lemah, hal ini mengakibatkan peluang terjadinya pelanggaran hukum ketenagakerjaan dan potensi konflik semakin besar.
Adanya beberapa putusan MK tersebut tidak otomatis menyelesaikan persoalan terkait hubungan industrial yang lebih adil bagi semua pihak. Meskipun kalangan pengusaha tidak secara formal menyatakan keberatannya, namun sebenarnya mereka juga tidak sepenuhnya bisa menerima putusan MK dimaksud. Misalnya, terkait permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu contohnya, perusahaan yang mem-PHK-kan pekerja yang melakukan pelanggaran berat, perusahaan harus membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak.
Sebaliknya, jika ada karyawan yang mengundurkan diri secara baik-baik justru hanya mendapatkan kompensasi penggantian hak.
Para pemangku kepentingan (pekerja, pengusaha dan pemerintah) bukannya tidak menyadari adanya persoalan mengenai pelaksanaan UU No. 13/2003. Sejak sekitar tahun 2006 telah muncul wacana untuk merevisi UU ini tetapi belum terwujud sampai sekarang. Hal ini mengindikasikan bahwa pro-kontra dan tarik menarik kepentingan mengenai hubungan industrial merupakan persoalan yang pelik.
Sejalan dengan perkembangan lingkungan bisnis yang berubah, baik secara regional, nasional maupun internasional, KEIN berpendapat bahwa keberadaan UU No. 13/2003 dan hubungan industrial tidak bisa dibiarkan dalam kondisi status quo seperti sekarang. Para pemangku kepentingan harus secara serius merumuskan revisinya dengan mengacu pada pertimbangan yang mendalam dan komprehensif. Aspek-aspek seperti landasan filosofis, norma yuridis, sosiologis serta rencana arah perkembangan ekonomi nasional ke depan dan kesejahteraan masyarakat harus menjadi rujukannya. Rumusan UU ketenagakerjaan yang baru hasil revisi harus mampu meminimalkan resistensi dari berbagai pihak terkait sehingga mampu menciptakan hubungan industrial yang mantab dalam jangka panjang.
Tujuan FGD
Secara umum tujuan FGD ini adalah untuk mendapatkan masukan terkait upaya merevisi UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan. Di dalamnya termasuk aspek, namun tidak terbatas pada: (i) BPJS Ketenagakerjaan, (ii) PHK dan Pesangon, (iii) Outsourcing dan Perjanjian Kerja, (iv) Perselisihan Hubungan Industrial, dan (v) Keberadaan Tenaga Asing dalam konteks MEA.