Kekuatan Massa Adalah Kunci

Kekuatan Massa Adalah Kunci
Kahar S. Cahyono, sebagai Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pemimpin Redaksi Media Perdjoeangan. Foto: Media Perdjoeangan/Ocha

“Buruh dan Serikat Buruh itu kekutannya cuma pada massa. Kerahkan massa, selesai. Dengan massa yang besar, ajak perang mereka. Kalau hanya main pengacara, walau itu juga penting, dicuekin. Penggunaan massa ini, mari kita jadikan pedoman.” Djufnie Ashary

Pagi ini, dalam perjalanan dari Serang ke Jakarta, saya tertidur di bus. Baru terbangun setelah melewati rest area Karang Tengah. Seperti biasa, yang pertama saya cari handphone. Ada telepon masuk dari bung Iqbal, 42 menit yang lalu. Tidak terangkat. Saya membaca pesan yang beliau kirimkan dan segera menindaklanjuti.

Tetapi tulisan ini bukan tentang pesan dari Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh itu. Ini tentang pesan Pak Djufnie Ashari yang dikirim ke dalam sebuah grup WA.

Menurut tokoh senior dalam serikat buruh di Indonesia itu, kekuatan buruh dan serikat buruh terletak pada massa yang besar. Bahwa kekuatan sejati dari gerakan buruh adalah ketika mereka mampu mengerahkan massa yang solid dan terorganisir. Apa yang disampaikan Pak Djufnie saya kutip di bagian awal tulisan ini.

Pesannya jelas: tanpa massa, suara buruh akan diabaikan. Dalam dunia yang semakin kapitalis ini, di mana hukum dan regulasi sering kali cenderung berpihak kepada pemodal, mengandalkan pengacara saja tidak cukup. Untuk benar-benar membuat perubahan, serikat buruh harus mampu menempatkan massa di garis depan perjuangan.

Saya tertegun membaca pesan itu. Sebuah pernyataan yang valid. Pernyataan itu mengembalikan ingatan saya pada 20 tahun yang lalu ketika untuk pertamakali mengenal kamu, eh, maksud saya mengenal serikat pekerja.

“Serikat yang kuat adalah yang memiliki banyak anggota dan terorganisir,” begitu saya diajarkan oleh para senior dan guru-guru saya di FSPMI, ketika bergabung di awal tahun 2000-an. Sesuatu yang kemudian membuat saya bisa memahami, mengapa bung Iqbal sebagai Presiden KSPI selalu menggelorakan perlawanan dengan bertumpu pada kekuatan kolektif massa, aksi-aksi yang tanpa henti.

Untuk bisa seperti itu, tentu dibutuhkan kepemimpinan. Dibutuhkan kepeloporan. Dan tidak kalah penting, kerja-kerja pengorganisasian. Itulah sebabnya, saya selalu merasa bangga dengan keteladanan para pemimpin dalam gerakan ini — yang bergerak bersama massa, menyatu di bawah guyuran hujan maupun panas terik.

Saya mau bilang, untuk mencapai mobilisasi massa yang kuat dan efektif, kerja organizer harus menjadi prioritas utama serikat buruh. Organizer bukan hanya sekedar pekerjaan sambilan atau sesekali, melainkan pekerjaan yang membutuhkan dedikasi penuh waktu. Tanpa keberadaan organizer yang bekerja konsisten di lapangan, serikat buruh akan kesulitan membangun jaringan dan kesadaran kolektif di antara anggotanya.

Dalam sejarah pergerakan buruh di berbagai negara, perubahan besar sering kali datang melalui kekuatan massa. Demonstrasi besar-besaran, pemogokan, dan aksi protes yang melibatkan ribuan hingga jutaan orang menjadi senjata paling ampuh untuk memaksa perubahan kebijakan.

Serikat buruh tidak bisa hanya bergantung pada jalur hukum atau lobi. Meskipun kedua hal itu penting, tanpa dukungan massa yang kuat, suara buruh akan terus terpinggirkan. Mobilisasi massa memberikan tekanan langsung kepada penguasa dan pemodal, menunjukkan bahwa buruh adalah kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng.

Kita tahu, mobilisasi massa tidak terjadi begitu saja. Untuk membangun massa yang solid dan siap bergerak, dibutuhkan kerja keras di balik layar. Inilah peran penting dari seorang organizer. Mereka adalah jantung dari pergerakan buruh, yang bekerja dari bawah untuk membangun solidaritas, menyusun strategi, dan menggerakkan massa.

Organizer sering kali diperlakukan sebagai pekerja sambilan, padahal pekerjaan mereka sangat krusial. Tanpa adanya organizer yang berkomitmen penuh waktu, kerja-kerja serikat buruh akan terhambat. Mereka adalah orang-orang yang mendidik anggota serikat, memperkuat solidaritas antar buruh, dan memastikan bahwa setiap langkah perjuangan memiliki dukungan massa yang cukup.

Di tengah tekanan globalisasi, digitalisasi, dan fleksibilitas tenaga kerja, serikat buruh menghadapi tantangan yang semakin besar. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengandalkan strategi lama yang hanya berfokus pada lobi atau penyelesaian hukum semata. Organisasi buruh harus berinvestasi pada pengembangan organizer yang mampu bekerja sepanjang waktu. Mereka harus menjadi penggerak yang aktif setiap hari, selalu siap sedia untuk merespons tantangan yang muncul.

Serikat buruh harus menjadikan kekuatan massa sebagai pedoman dalam setiap perjuangannya. Tanpa massa, suara buruh akan terus diabaikan oleh penguasa dan pemodal. Karena, memang, massa aksi adalah kunci…

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Media Perdjoeangan