Kelas Pekerja sebagai Warga Negara

Kelas Pekerja sebagai Warga Negara

Kelas pekerja atau kelas buruh bukanlah semata-mata penyedia tenaga yang ditukar dengan upah. Mereka adalah warga negara yang melekat di dalamnya kewajiban negara untuk menjamin hak-hak mereka. Dengan demikian kita bisa menegaskan, hak kelas pekerja adalah hak yang konstitusional.

Amalinda Savirani, seorang Dosen Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan bahwa konsep kelas pekerja sebagai warga negara membawa konsekuensi bahwa negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja. Dia menyampaikan itu saat menjadi ahli dalam sidang judicial review UU Cipta Kerja, Senin (8/7). Pernyataan ini menjadi sangat relevan dalam konteks penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang dianggap merugikan kelas pekerja di Indonesia.

Sebagai warga negara, pekerja memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Hak-hak ini mencakup hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, upah yang adil, kondisi kerja yang aman, serta akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Akan tetapi, UU Cipta Kerja, dengan berbagai ketentuannya, justru mengancam pemenuhan hak-hak dasar ini. Misalnya, penetapan upah minimum dan kemudahan dalam proses pemutusan hubungan kerja membuat posisi pekerja semakin rentan dan tidak menentu.

UU Cipta Kerja dipandang oleh banyak kalangan sebagai undang-undang yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dan investasi dibandingkan kesejahteraan pekerja. Salah satu contohnya adalah ketentuan tentang upah minimum yang lebih fleksibel, yang berarti bahwa pengusaha dapat membayar pekerja dengan upah yang lebih rendah dari sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip upah layak yang seharusnya menjamin pekerja dapat hidup dengan cukup dan bermartabat.

Selain itu, ketentuan mengenai pesangon juga mengalami perubahan yang signifikan. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan pesangon yang cukup besar sebagai bentuk kompensasi. Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja, jumlah pesangon yang diterima pekerja menjadi jauh lebih kecil. Ini tentu saja sangat merugikan pekerja.

UU Cipta Kerja juga dianggap menurunkan standar perlindungan bagi pekerja. Salah satu ketentuan yang sangat merugikan adalah diperbolehkannya praktik outsourcing untuk hampir semua jenis pekerjaan. Praktik outsourcing ini membuat status kerja pekerja menjadi tidak pasti dan mereka kehilangan banyak hak yang seharusnya mereka miliki sebagai pekerja, seperti jaminan sosial, pesangon, dan hak atas cuti.

Kondisi kerja yang aman dan layak adalah hak dasar setiap pekerja. Namun, dengan adanya fleksibilitas dalam waktu kerja dan pengurangan standar keselamatan kerja, UU Cipta Kerja mengancam kesehatan dan keselamatan pekerja. Misalnya, ketentuan mengenai waktu kerja lembur yang lebih panjang tanpa kompensasi yang memadai dapat menyebabkan kelelahan dan meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

UU Cipta Kerja juga berdampak negatif terhadap keberadaan dan kekuatan serikat pekerja. Dengan memperlonggar aturan terkait outsourcing dan kontrak kerja, undang-undang ini membuat lebih sulit bagi serikat pekerja untuk melindungi anggotanya. Ketidakpastian kerja yang meningkat akibat praktik outsourcing dan kontrak kerja jangka pendek mengurangi kemampuan serikat pekerja untuk mengorganisir dan memperjuangkan hak-hak pekerja.

Serikat pekerja memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Mereka adalah garda terdepan dalam melakukan advokasi, negosiasi, dan perlindungan bagi anggotanya. Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja, posisi serikat pekerja menjadi semakin lemah karena sulitnya mengorganisir pekerja yang status kerjanya tidak pasti.

UU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada pekerja formal tetapi juga pekerja informal, yang sering kali terdiri dari perempuan dan kelompok rentan lainnya. Dengan mengurangi perlindungan dan hak-hak bagi pekerja formal, undang-undang ini juga berpotensi memperburuk kondisi pekerja informal yang sudah berada dalam posisi yang sangat rentan. Perempuan yang bekerja di sektor informal, misalnya, bisa menghadapi kondisi kerja yang lebih buruk tanpa adanya jaminan perlindungan.

Salah satu argumen yang sering diajukan pendukung UU Cipta Kerja adalah bahwa undang-undang ini akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan investasi. Namun, tanpa adanya jaminan kesejahteraan sosial yang memadai, penciptaan lapangan kerja baru ini tidak serta merta akan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Pekerja membutuhkan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, pensiun, dan perlindungan lainnya untuk memastikan bahwa mereka dapat hidup dengan layak.

Perlindungan sosial adalah aspek lain yang krusial dalam memastikan hak-hak pekerja terpenuhi. Negara harus mampu menyediakan jaminan sosial yang mencakup asuransi kesehatan, asuransi ketenagakerjaan, dan program pensiun yang layak. Jaminan sosial ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja dari berbagai risiko seperti penyakit, kecelakaan kerja, dan kehilangan pekerjaan.

UU Cipta Kerja, dengan berbagai perubahan yang dibawanya, juga menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pekerja dan pengusaha. Banyak ketentuan dalam undang-undang ini yang masih belum jelas dan membutuhkan aturan turunan yang lebih detail. Ketidakpastian ini bisa menyebabkan konflik dan perselisihan yang berkepanjangan antara pekerja dan pengusaha, yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak.

Prinsip keadilan sosial mengharuskan bahwa setiap warga negara, termasuk pekerja, memiliki hak yang sama atas kesempatan dan kesejahteraan. UU Cipta Kerja, dengan berbagai ketentuannya yang merugikan pekerja, jelas bertentangan dengan prinsip ini. Pekerja tidak boleh dipandang hanya sebagai alat produksi yang dapat diperas tenaganya tanpa memperhatikan kesejahteraan dan hak-haknya sebagai manusia.

Penolakan terhadap UU Cipta Kerja adalah langkah penting dalam mempertahankan hak-hak pekerja sebagai warga negara. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hak-hak ini dihormati dan dilindungi melalui kebijakan yang adil dan inklusif. Dengan memperjuangkan hak-hak dasar pekerja, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, di mana setiap pekerja dapat hidup dengan martabat dan memperoleh hak-hak yang seharusnya mereka miliki.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan