Jakarta, KPonline – Pagi itu, suasana di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dipenuhi Polisi. Massa aksi belum banyak yang datang. Watercanon, Barakuda, dan kendaraan lain milik kepolisian diparkir tepat di halaman pengadilan. Sementara itu, di setiap sudut pengadilan, Polisi berjaga. Sebagian dari mereka membawa senjata dan menenteng alat pelontar gas air mata.
Pengadilan, tempat dimana orang mencari keadilan terkesan mencekam. Seperti layaknya sedang menjaga penjahat kelas kakap disidang, pengamanan hari itu jelas berlebihan. Apalagi, ini adalah sidang 23 orang buruh, 2 orang pengacara publik LBH Jakarta dan seorang mahasiswa. Mereka bukan kriminal. Bukan penjahat. Tetapi justru dikriminalkan saat menyampaikan pendapat di depan Istana Negara, tanggal 30 Oktober 2015 yang lalu.
Tidak hanya di jalan dan sudut-sudut pengadilan. Polisi berjaga hingga di dalam ruang sidang. Kuasa hukum 26 aktivis bahkan sempat menyampaikan protes kepada Majelis Hakim terkait dengan adanya polisi yang menenteng senjata api masuk ke pengadilan. Dia meminta agar dalam persidangan yang akan datang, hal seperti ini tidak lagi terjadi.
“Persidangan harus bebas dari intimidasi. Agar jalan untuk mencari keadilan benar-benar bersih dari intervensi,” katanya.
Mendengar keberatan dari kuasa hukum, pengunjung yang memenuhi ruang sidang bertepuk tangan. Mereka bahkan sempat berteriak lantang, “Keluarkan polisi dari ruang sidang!” Teriakan itu diulang beberapa kali.
Permintaan untuk mengeluarkan polisi dari ruang sidang, semestinya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Mengingat dugaan kriminalisasi yang ditimpakan kepada 26 aktivis bermula dari laporan yang dibuat pihak kepolisian itu sendiri. Saat itu, massa tidak membubarkan diri meski sudah diperintahkan untuk bubar. Saat pembubaran dilakukan, Polisi bahkan melakukan penganiayaan, merampas uang, handphone, dan barang-barang lain milik massa aksi. Polisi juga merusak mobil komando .
Tidak berlebihan jika Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, agar Kepolisian bisa berdiri secara mandiri karena terlahir dari rahim reformasi. Lahir dari darah para aktivis dan buruh. Sehingga ruang gerak korps Bhayangkara tersebut tidak menjadi kambing congek elite kekuasaan belaka.
“Kami berharap Kepolisian jangan sampai kembali menjadi alat rezim untuk mengamankan kekuasaannya.” kata Iqbal, dalam sebuah kesempatan. (*)