26 Ramadhan 1439 Hijriah – Pak..kalo pulang nanti jangan lupa beliin Faizah kembang api yaa” suara gadis cilik sekira usia 5 tahunan terdengar dari ujung telepon diseberang sana.
“Iya, nanti Bapak belikan” singkat saja jawaban Pak Kosim. Tanpa ada ditambah-tambahkan, tanpa ekspresi dan tanpa berpikir ulang, darimana ia akan membelikan kembang api permintaan dari anaknya tercinta.
Aku hanya bisa terdiam terpaku memperhatikan perbincangan singkat melalui telepon seluler tersebut. Terlihat Pak Kosim menarik nafas yang cukup dalam, seperti seakan-akan ada beban berat yang menghimpit pundaknya. Sebagai customer tranportasi roda dua berbasis online, aku sadar dan menyadari betapa berat beban yang harus ditanggung oleh para pengemudi ojek online. Berkurangnya pendapatan para pengemudi ojol (ojek online) akibat kebijakan perusahaan mitra kerja mereka yang menurunkan tarif, membuat mereka meradang.
Terdiam sejenak, aku berdiri sekitar 2 meter dari tempat Pak Kosim sedang menungguku. Yaa, Pak Kosim namanya, tertera dengan jelas di layar ponselku melalui aplikasi jasa transportasi online. Motornya pun kurang bagus, meskipun terlihat dari plat nomer kendaraannya, terbilang masih baru.
Pak Kosim menoleh ke kanan dan ke kiri, aku tahu dia sedang mencari customernya yang baru saja memesan ojek online, yaitu aku. Terngiang kembali, percakapan Pak Kosim dengan seseorang, yang sudah aku bisa tebak, Faizah adalah anaknya.
“Pak Kosim yaa ?” tanyaku. “Iya betul, Mas Catur ya ?” balik bertanya Pak Kosim kepadaku. “Ayo Pak, kita langsung berangkat” sambil mengenakan helm yang diberikan oleh Pak Kosim.
Diatas motor roda dua yang berjalan, kami sempatkan berbincang hal-hal yang ringan saja. Sampai akhirnya, di perempatan jalan sebelum masuk ke dalam komplek perumahan tempat tinggalku, kulihat ada pedagang kaki lima yang menjajakan kembang api dan beberapa petasan. Kuteringat dengan perbincangan Pak Kosim dengan seseorang yang bernama Faizah yang kuduga adalah anaknya.
“Pak, berhenti sebentar. Saya mau beli kembang api” tuturku ke Pak Kosim. Tanpa bertanya lagi, Pak Kosim menepikan motor roda dua nya.
“Kalau yang ini berapa duit Bang ?” tanyaku kepada abang penjual kembang api. “20 ribu aja Mas” jawab abang penjual kembang api sambil memberikan kembang api yang cukup panjang. “2 yaa Bang” kuserahkan 2 lembar uang 20 ribuan.
Kembali kami melanjutkan perjalanan. Tak dinyana, Pak Kosim bertanya. “Buat siapa Pak kembang apinya ?” dengan nada menelisik lebih dalam, Pak Kosim bertanya. “Buat keponakan Pak” jawabku dengan singkat. “Oohhh” dan hanya kata itu yang kudengar dari Pak Kosim.
Hingga akhirnya, tibalah kami didepan gerbang rumah yang buatku cukup asri dan nyaman. Sebuah komplek perumahan ditengah kota yang sangat strategis letaknya.
“Ok Pak Kosim, sudah sampai kita” sambil tersenyum lebar kutepuk pundak Pak Kosim yang menurutku sekira sudah 50-an usianya.
Kuserahkan helm penumpang yang sejak awal keberangkatan kukenakan. Sambil merapikan posisi helm yang tadi kuserahkan, kuraih dompet yang kusimpan dikantong belakang.
“Jadi 16 ribu rupiah Mas Catur” sambil bersiap-siap untuk meninggalkanku. “Ini Pak, ambil saja kembaliannya” jawabku. “Beneran nih Mas ?” terlihat sumringah dan berbinar sorot mata Pak Kosim. “Iya Pak, beneran kok” kulontarkan senyum atas pelayanan dari Pak Kosim yang cukup baik. “Sekalian saya kasih bintang 5 yaa Pak, biar berkah yaa Pak. Biar tambah banyak dapat orderan” kudoakan tanpa pamrih, dari lubuk hati yang paling dalam.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak yaa Mas Catur” dinyalakan mesin motor roda dua miliknya. Dan, hampir saja lupa. “Pak..Pak..ini kembang apinya lupa” Pak Kosim menoleh dan terlihat bingung. “Lohh bukannya kembang apinya buat keponakannya Mas Catur ?” dan aku membalasnya dengan senyum simpul.
Kupegang pundak Pak Kosim, “Maaf Pak, tadi sebelum saya naik motor Bapak, nggak sengaja saya mendengar pembicaraan Bapak lewat telepon, maaf lohh Pak” seraya kukatupkan kedua telapak tanganku didepan dada, sebagai simbol permohonan maaf.
“Ohh saya pikir buat keponakan Mas Catur. Tadi saya menelepon Faizah anak saya. Iya memang tadi dia minta dibelikan kembang api” Pak Kosim mulai menundukkan kepalanya.
“Saya sengaja beli, yaa buat Faizah berarti, buat anak Bapak” sambil kuserahkan 2 pak kembang api yang tadi kubeli. Pak Kosim menerima kembang api tersebut sambil tetap menundukkan kepalanya.
“Udah Pak Kosim, nggak apa-apa” sambil menepuk-nepuk pundak Pak Kosim. Dan tanpa berkata-kata, Pak Kosim mengangggukan kepalanya. Aku mengerti maksud Pak Kosim. “Mari Pak” lalu kulangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumahku. Sambil menutup pintu gerbang rumah, kulihat Pak Kosim menyapukan ujung jaketnya ke kedua belah matanya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di matanya. Setetes air mata.
Dan aku hanya bisa tersenyum melihat pemandangan tersebut. Ada kebahagiaan tersendiri dalam hati, seakan-akan ada setetes embun yang menyejukkan hati. Bahagia melihat orang lain bahagia.
…..
29 Ramadhan 1439 Hijriah
Roda ban mobil yang sedang kukemudikan berdecit, suaranya seperti suara yang sedang menjerit. Berderit dan lalu… Brakk.. Aku tak sadarkan diri. Mobil terpelanting ke pembatas jalan dan menghantam trotoar jalan. Orang-orang disekitar lokasi kejadian berhamburan menuju mobil yang mengalami kecelakaan tersebut. Yaa, aku mengalami kecelakaan.
Diantara kerumunan orang-orang yang mencoba menolongku, samar-samar kulihat wajah yang pernah kulihat. Meskipun agak sedikit buram dan kurang jelas, tapi aku yakin itu adalah wajah Pak Kosim.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, 3 hari dalam keadaan koma membuatku lupa dengan situasi disekitar. Sayup-sayup kudengar derak mesin pendeteksi detak jantung dan ada satu suara lagi. Seperti ada yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al Quran. Suara anak kecil. Perempuan. Mengaji. Penglihatanku buram. Dunia seakan berputar-putar, dan kembali aku tak sadarkan diri.
Dan…
Kuterbangun ditengah malam, karena ada seseorang yang sepertinya tengah menemaniku disamping kasur ruang perawatan ini. Sayup-sayup kudengar suara takbir berkumandang di kejauhan. Yaa suara takbir bertalu-talu, seakan berpacu dengan suara dentuman dan hentakan pukulan bedug masjid.
Pak Kosim..aku mengerang kesakitan karena derita luka yang kurasa. Perban, alat pacu denyut jantung dan selang yang memasuki rongga hidung. Dan alunan ayat-ayat suci Al Quran masih terlantunkan.
Faizah..anak gadis cilik yang mengenakan berkerudung merah jambu, masih saja setia menanti penantian ajalku.
Aku ingin mudik, pulang ke kampung halamanku. Menengok orang tuaku dan handai taulan. Menghirup udara segar hawa pedesaan dan berkeliling kampung menaiki sepeda onthel peninggalan kakek buyutku.
Tapi nyatanya, aku terbaring disini dan tak berdaya apapun jua. Merintih menahan rasa sakit dan berharap agar segera berlalu. “Ibu..Bapak.. Aku ingin mudik. Aku kangen kalian” batinku menjerit mengiringi aluanan gema takbir. Seakan-akan berlomba, siapa yang akan menjemput sinar mentari pagi di 1 Syawal esok hari. Apakah alunan gema takbir ataukah nyawaku yang akan tiba lebih dulu digerbang Hari Raya esok hari ?
Alunan gema takbir dan iringan ayat-ayat suci Al Quran yang dibacakan oleh Faizah akhirnya harus mengikhlaskan kepergian roh-ku. Pelan tapi pasti, 2 kalimat syahadat terucapkan sebelum hingga mencapai tenggorokan.
Faizah tersentak, lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang dibacanya pun terhenti. Dan aku melihat diriku, diguncang-guncang oleh Pak Kosim dan Faizah. “Kak, aku belum sempat ucapkan terima kasih buat kembang apinya” Faizah meracau dan meneteskan air mata. Dokter dan perawatan berdatangan, memberikan tindakan yang terbaik. Tapi sayang, aku sudah mulai melayang. Aku melihat diriku dihentakkan oleh alat pacu detak jantung. Jasadku terhenyak dan bergerak, tapi tidak dengan diriku yang hakiki. Aku ikhlaskan meninggalkan jasadku tanpa ditemani keluarga, sanak saudara dan handai taulan. Pergi meninggalkan dunia ini, ditemani 2 anak manusia yang sangat memahami dan mengerti, apa itu rasa syukur dan berbalas budi.
…..
“..Terima kasih Kak, buat kembang apinya..”
Faizah