Kenaikan Upah Minimum 8-10% di Tahun 2025 adalah Kebutuhan Mendesak bagi Buruh

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) baru-baru ini menyuarakan tuntutan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) maupun Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8% hingga 10% pada tahun 2025. Pernyataan ini diungkapkan oleh Presiden KSPI, Said Iqbal, pada 27 September 2024. Kenaikan ini dipandang sebagai langkah penting untuk memulihkan daya beli buruh yang terus tergerus selama beberapa tahun terakhir. Di tengah inflasi yang meningkat dan ketimpangan upah antarwilayah, permintaan kenaikan upah minimum ini seharusnya dilihat sebagai kebutuhan mendesak yang tidak bisa diabaikan oleh pemerintah.

Selama dua tahun terakhir, inflasi di Indonesia berada pada kisaran 2,5% dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2%. Jika kedua angka tersebut digabungkan, totalnya mendekati 8%, yang menjadi dasar perhitungan KSPI dalam menuntut kenaikan upah minimum. Namun, Iqbal juga menegaskan bahwa untuk daerah-daerah yang memiliki kesenjangan upah yang tinggi, terutama antara kabupaten/kota yang berdekatan, kenaikan ini sebaiknya mencapai 10%. Dengan demikian, disparitas upah yang terjadi di banyak wilayah Indonesia bisa lebih diminimalisir, menciptakan keseimbangan yang lebih adil bagi para pekerja.

Pada kenyataannya, selama lima tahun terakhir, upah minimum di Indonesia tidak mengalami kenaikan yang sepadan dengan kebutuhan riil para pekerja. Pada tahun pertama, tidak ada kenaikan upah sama sekali, dan dalam dua tahun terakhir, kenaikan upah berada di bawah tingkat inflasi. Di wilayah Jabodetabek, misalnya, inflasi mencapai 2,8%, namun kenaikan upah hanya 1,58%. Ini berarti, para buruh setiap bulan harus menutupi kekurangan antara pendapatan mereka dan biaya hidup yang terus meningkat. Dampaknya, daya beli buruh menurun secara signifikan.

Meski secara nominal upah terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, kenyataannya upah riil—yaitu upah yang telah disesuaikan dengan indeks harga konsumen—justru terus merosot. Dalam sepuluh tahun terakhir, upah riil buruh telah turun sekitar 30%. Said Iqbal menjelaskan bahwa kenaikan harga barang dan kebutuhan hidup jauh melampaui kenaikan upah nominal, sehingga para buruh terus terbebani dan tidak mampu mempertahankan daya beli mereka.

Penurunan daya beli ini berdampak langsung pada kesejahteraan buruh. Kenaikan harga bahan pokok, transportasi, dan biaya hidup lainnya membuat para pekerja harus mengorbankan kualitas hidup mereka. Banyak yang harus mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan dasar, seperti makanan, perumahan, atau pendidikan anak, demi bisa bertahan hidup. Dalam situasi seperti ini, kenaikan upah minimum yang signifikan bukan lagi sekadar tuntutan, tetapi sebuah keharusan untuk mengembalikan kesejahteraan para buruh yang telah lama terabaikan.

Kenaikan sebesar 8% hingga 10% pada tahun 2025 juga diharapkan bisa mengurangi ketimpangan upah antarwilayah. Di banyak daerah, terutama di kabupaten/kota yang berdekatan, kesenjangan upah cukup mencolok. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan bagi pekerja di wilayah tertentu, tetapi juga menimbulkan dampak ekonomi yang lebih luas. Dengan adanya disparitas upah, terjadi migrasi pekerja dari wilayah dengan upah lebih rendah ke wilayah dengan upah lebih tinggi, yang pada gilirannya menimbulkan ketidakseimbangan dalam distribusi tenaga kerja.

Namun, KSPI menegaskan bahwa tuntutan kenaikan upah ini tidak didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 (PP 51/2023). Sejak awal PP 51/2023 ditolak oleh serikat buruh, termasuk KSPI dan Partai Buruh, karena peraturan ini dianggap merugikan para pekerja. Dasar hukum dari PP 51 ini adalah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang saat ini sedang digugat melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai serikat buruh. Hingga saat ini, belum ada keputusan dari MK, sehingga penggunaan PP 51/2023 dalam penetapan upah minimum tahun 2025 dinilai tidak relevan.

Kenaikan upah minimum yang diusulkan oleh KSPI sebesar 8% hingga 10% hanya akan meningkatkan daya beli buruh sekitar 5%. Padahal, seperti yang disebutkan oleh Said Iqbal, daya beli buruh telah turun sebesar 30% dalam sepuluh tahun terakhir. Ini berarti, meskipun terjadi kenaikan upah, daya beli buruh secara keseluruhan masih akan berada pada titik yang lebih rendah dibandingkan sepuluh tahun lalu. Para buruh akan terus merasakan dampak dari kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok yang tidak sebanding dengan kenaikan upah.

Pemerintah perlu segera mengambil langkah tegas dalam merespons tuntutan ini. Dengan kondisi ekonomi global yang semakin tidak menentu, buruh Indonesia tidak bisa dibiarkan terus mengalami penurunan daya beli dan kesejahteraan. Kenaikan upah minimum bukan hanya soal meningkatkan pendapatan, tetapi juga soal memberikan keadilan bagi mereka yang selama ini telah bekerja keras namun terus terpinggirkan oleh kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada pekerja.

Sudah saatnya pemerintah lebih serius dalam memperhatikan kondisi riil yang dihadapi oleh para pekerja. Kebijakan ekonomi yang pro-pekerja sangat diperlukan untuk mencegah semakin merosotnya kesejahteraan buruh di Indonesia. Dalam jangka panjang, kenaikan upah minimum yang signifikan juga akan berdampak positif bagi perekonomian nasional. Dengan daya beli yang lebih tinggi, konsumsi masyarakat akan meningkat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan upah yang lebih adil, di mana kenaikan upah tidak hanya menutup inflasi, tetapi juga memulihkan daya beli buruh yang telah hilang selama satu dekade terakhir. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan keseimbangan ekonomi yang lebih baik dan mengurangi ketimpangan antara pekerja dan golongan lainnya dalam masyarakat.