Bekasi, KPonline – Saat itu tanggal 5 Agustus 2014. Dua orang aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dilantik sebagai calon anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Keduanya adalah Nurdin Muhidin dan Nyumarno.
Usai menghadiri pelantikan sebagai anggota dewan, keduanya diarak ke omah buruh menggunakan mobil komando.
Mereka berdua adalah produk buruh go politik. Sebuah gerakan yang diinisiasi FSPMI – KSPI untuk mendukung kader-kader terbaiknya untuk menduduki kursi dewan. Tujuannya, agar suara kaum buruh terdengar lantang di ruang-ruang pengambilan keputusan.
Ketua Konsulat Cabang FSPMI Bekasi yang saat itu dijabat Obon Tabroni mengalungkan klintingan sapi, masing-masing kepada Nurdin Muhidin dan Nyumarno. Tujuannya adalah, agar keduanya selalu ingat darimana berasal. Meminjam kalimat Obon, agar tidak hilang ditelan belantara perpolitikan yang dinilai kejam dan tak mengenal belas kasihan.
Bagaimanapun, ketika menjadi anggota dewan, keduanya bukan lagi milik FSPMI. Nyumarno maju melalui PDI Perjuangan. Sedangkan Nurdin dari PAN. Kaum buruh berharap, keduanya tetap lantang dalam menyuarakan kepentingan kaum buruh.
Akankah kenangan di bulan Agustus empat tahun yang lalu hanya akan menjadi romantika? Kenangan indah tanpa makna?
Lepas dari kekurangan yang ada, banyak manfaat yang didapatkan dari keberhasilan menempatkan dua kader buruh di legislatif. Apabila semakin banyak perwakilan buruh di sana, bisa dipastikan akan semakin berwarna.
Keyakinan itulah yang semakin meneguhkan sikap kaum buruh yang menggunakan strategi serupa di tahun 2019. Dari pelajaran tahun 2014 yang lalu, buruh optimis akan semakin banyak lagi kader-kader terbaik yang dihantarkan duduk di kursi dewan. Tidak hanya di tingkat kabupaten, tetapi juga DPRD tingkat provinsi dan DPR RI.
Ada yang mengatakan, untuk apa buruh masuk ke legislatif? Nanti bisa terkooptasi oleh kepentingan partai politik.
Jika kita selalu berpandangan negatif, niscaya tidak akan terlahir gagasan dan terobosan baru. Satu hal yang pasti, jika tidak ada wakil buruh di legislatif, maka tidak ada penjaga bagi kepentingan kaum buruh. Apakah kita akan membiarkan legislatif hanya diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan kepedulian terhadap kaum buruh? Tentu saja tidak!
Mereka yang mengatakan tidak perlu ada wakil buruh di legislatif, bahkan masih memerlukan anggota dewan ketika terjadi permasalahan. Jika ada wakil buruh di sana, minimal ada penghubung atau penyambung lidah. Ada tangan yang memiliki kekuatan untuk membela kepentingan kaum pekerja.
Pada akhirya, peristiwa dilantiknya dua orang anggota DPRD Bekasi pada bulan Agustus 2014 lalu bukan sekedar kenangan. Tetapi juga sebentuk keyakinan, bahwa kita bisa melakukannya kembali. Dengan jumlah yang semakin banyak lagi.