Ketika Kebaikan Berbuah Pahit

Ketika Kebaikan Berbuah Pahit

Bogor, KPonline – Suasana ruang pertemuan lantai 2 di sebuah pabrik di pinggiran Ibukota tersebut mendadak berubah memanas. Meskipun ruangan pertemuan tersebut terpasang 2 buah Air Conditioner yang terpusat, gerah menerpa 3 orang yang sedang beradu argumentasi. 2 orang yang memiliki pangkat dan jabatan melawan 1 seorang operator produksi.

“Semuanya sudah saya lakukan sejak 4 tahun yang lalu. Dengan inisiatif saya sendiri, saya berinovasi sendiri, tanpa bantuan siapapun. Bahkan, saya modal sendiri. Apakah saya salah, jika saya mempertanyakan penghargaan apa yang akan diberikan perusahaan kepada saya?. Dengan 2 jarinya, Yanto menunjuk lembaran-lembaran kertas yang berisi data-data dan bukti-bukti tertulis lainnya.

Bacaan Lainnya

Sang Direktur tak bergeming dengan argumentasinya yang lalu, berkilah bahwa harus ada proses penilaian yang harus dilewati Yanto. “Jadi gini loh Yanto. Tidak serta merta, karena atas apa yang telah kamu lakukan, lalu kamu bisa langsung naik golongan atau apapun itu. Ada mekanisme dan proses penilaian yang harus kamu lewati. Sabar sedikitlah” Sang Direktur mencoba menepis argumentasi yang telah disampaikan oleh Yanto.

“Tapi Bu, keluh kesah ini, sudah saya sampaikan dari setahun yang lalu. Setahun lebih malah. Dan tidak ada jawaban apapun. Kurang sabar apa coba saya?” Yanto mulai menaikan nada suaranya yang mulai parau, karena seharian belum makan dan minum. Maklum saja, hari itu merupakan hari ke 10 puasa Ramadhan. Selain harus menahan lapar dan haus, Yanto pun harus menahan amarah dan emosi jiwa yang selama ini ia pendam.

Hampir 2 tahun lamanya, Yanto harus bersabar menunggu. Menunggu sesuatu hal yang nyata-nyata tidak pasti akan didapatkannya. Pun begitu, Yanto harus tetap bersabar menunggu. Meskipun dibelakang dirinya, 44 orang kawannya yang sesama buruh pabrik ditempat kerja yang sama, juga telah menunggu. Dengan sabar dan tanpa kepastian yang jelas, Yanto bersama-sama kawan-kawan yang lainnya harus rela menunggu dan terus menunggu. Sampai kapan Yanto dan kawan-kawannya akan menunggu? Hingga habis kesabaran dan meledakkannya secara bersama-sama?

“Ibu Direktur, yang saya butuhkan saat ini adalah kepastian, bukan pembicaraan lanjutan seperti ini. Haruskah 44 orang kawan-kawan saya yang sedang menunggu dibawah, melakukan hal yang sama seperti apa yang saya lakukan? Bisa Ibu Direktur bayangkan bukan, betapa menyita waktu dan menganggu aktifitas Anda, jika hal tersebut terjadi?” sambil memandang wajah Sang Direktur, Yanto menatap nanar dengan penuh kekecewaan.

“Apa yang telah saya dan kawan-kawan saya lakukan, demi keberlangsungan dan berjalannya perusahaan ini. Demi semuanya. Bukan demi ambisi atau hal apapun. Karena saya tidak punya ambisi untuk menjadi apapun. Saya telah berbuat sesuatu yang sangat bermanfaat buat perusahaan. Tapi apa yang saya dapat? Tidak ada” kesal Yanto.

“Perusahaan ini membutuhkan orang-orang yang penuh dengan inovasi, tingkat inisiasi dan integritas yang tinggi. Pihak Management Perusahaan pernah mengatakan bahwa, persaingan usaha semakin ketat, tapi disisi lain pintu inovatif dan inisiatif ditutup dan tidak dihargai. Berapa tahun lagi perusahaan ini akan bertahan, jika sikap-sikap seperti itu masih ada dan dipertahankan?” Yanto berdiri lalu pergi. Meninggalkan 2 orang cerdik pandai yang nyatanya belum cerdas dalam menyikapi sebuah terobosan yang sangat jauh kedepan. (RDW)