Saat berkunjung di sebuah kontrakan buruh di Bekasi, saya bertemu dengan Santi, seorang pekerja pabrik yang tahun ini berusia empat puluhan. Wajahnya ramah, tapi di balik senyum itu ada cerita yang berat untuk diceritakan.
Santi mengundang saya duduk di lantai ruang tamunya yang sederhana, hanya dilapisi tikar tipis. Dari situlah, ia mulai bercerita tentang masa lalunya—tentang kenyamanan yang dulu pernah ia rasakan, tapi kini hanya tinggal kenangan.
Di Media Perdjoeangan, kami sedang membuat reportase untuk mendokumentasikan kisah kelam kaum buruh pasca lahirnya omnibus law UU Cipta Kerja. Saya menemui beberapa orang buruh untuk mendapatkan cerita yang utuh. Santi salah satunya.
“Dulu, gaji saya lumayan besar,” katanya, sambil memandang jendela kontrakan yang terbuka sedikit.
“Tunjangan juga lumayan, dan bonus tahunan selalu ada. Saya merasa hidup saya aman, bahkan terjamin. Waktu itu, saya tidak pernah memikirkan serikat pekerja, apalagi ikut bergabung. Saya merasa, selama saya bekerja keras, masa depan saya pasti akan baik-baik saja.”
Namun, seperti angin yang bisa berubah arah tanpa kita sadari, begitu pula nasib buruh seperti Santi. Ia bercerita, sejak beberapa tahun yang lalu, perusahaan tempatnya bekerja mulai melakukan penghematan, dan tanda-tanda ketidaknyamanan mulai muncul. Bonus yang biasanya diberikan rutin mulai terhenti, tunjangan perlahan dipangkas, dan yang paling mengkhawatirkan, isu PHK massal semakin sering terdengar.
“Satu per satu teman-teman saya dipanggil HRD. Ada yang langsung diberi surat PHK tanpa peringatan sebelumnya,” Santi menunduk, mengenang momen-momen itu. “Saya mulai ketakutan, apa saya akan jadi yang berikutnya? Rasanya tidak ada jaminan kalau pekerjaan ini akan bertahan lama.”
Saat itu, baru Santi menyadari kesalahannya. Di masa-masa sulit itulah, ia mulai menyadari bahwa buruh tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Perjuangan untuk upah layak, tunjangan, dan rasa aman dalam pekerjaan seharusnya diperjuangkan bersama, dalam satu kekuatan kolektif—serikat pekerja.
“Sebenarnya bukan kesadaran,” ia melanjutkan. “Tetapi lebih kepada ketakutan, jika semua fasilitas yang saya nikmati sekarang akan hilang.”
“Dulu, saya sering nyinyir melihat buruh yang ikut aksi. Saya pikir mereka tidak bersyukur, kerja sudah enak kok malah protes. Saya benar-benar tidak sadar kalau perjuangan mereka itu juga untuk saya. Sekarang, saya menyesal tidak mendukung perjuangan serikat dari awal.”
Kini, setelah merasakan sendiri betapa rentannya nasib buruh di bawah kebijakan yang tidak berpihak, Santi menyesali sikapnya dulu. Ia sadar bahwa tanpa serikat pekerja, hak-haknya mudah saja dilucuti.
“Kalau bukan karena serikat buruh, Omnibus Law pasti sudah berjalan tanpa ada perlawanan. Serikatlah yang masih berjuang agar UU itu dihapuskan.”
Santi juga mendengar tentang Partai Buruh, partai yang berjuang untuk kepentingan buruh seperti dirinya. Dengan nada penuh penyesalan, ia berkata, “Kemarin saya tidak memilih Partai Buruh.” Ia hanya tertawa ketika saya tanya, partai apa yang dipilihnya.
“Tapi sekarang saya tahu, hanya serikat buruh dan Partai Buruh yang benar-benar memperjuangkan kami. Pada pemilu berikutnya, saya pastikan suara saya untuk Partai Buruh.”
Perubahan regulasi dan kebijakan perusahaan bisa datang kapan saja, dan yang kita nikmati hari ini belum tentu masih kita dapatkan esok. Apa yang dialami Santi menjadi pengingat bagi kita semua. Ketika kenyamanan mulai hilang dan pekerjaan terancam, hanya dengan berserikat kita bisa memastikan bahwa kita tidak menghadapi ketidakpastian itu sendirian.