Kisruh Perdirjampel BPJS Kesehatan No.2, 3 dan 5

Kisruh Perdirjampel BPJS Kesehatan No.2, 3 dan 5

Bogor, KPonline – Sejak diberlakukannya Peraturan Direksi Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan No. 2,3 dan 5 tahun 2018 yang berisi tentang :

1. Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi Caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam satu paket persalinan.

Bacaan Lainnya

2. Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota.

3. Tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali perminggu (8 kali dalam 1 bulan).

Perdirjampel BPJS Kesehatan tersebut secara terus menerus menuai protes dari berbagai kalangan, diantaranya asosiasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dan berbagai kalangan profesi kesehatan lainnya. Perdirjampel BPJS Kesehatan tersebut juga terus menimbulkan kontroversi di berbagai media sosial, bahkan juga ditengah-tengah masyarakat peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Masyarakat terlihat resah dengan beredarnya berita-berita di media cetak ataupun online yang menyatakan BPJS Kesehatan mencabut tiga manfaat seperti kelahiran dengan proses Caesar, operasi katarak juga rehabilitasi medis, ditambah lagi berita-berita yang memuat pernyataan dari Kementrian Kesehatan, Asosoasi profesi dan BPJS Kesehatan yang seakan-akan perang media semuanya punya argumentasi dan mencari pembenaran untuk lembaganya masing-masing, rakyat hanya melihat pemerintah saling menyalahkan antara lembaga satu dengan lembaga yang lainya.

Oleh karena itu kami menekankan pada Pemerintah dalam hal ini Presiden, Kementrian Keuangan, Kementrian Kesehatan, Direksi BPJS Kesehatan juga Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk segera duduk bersama guna mencarikan solusi terkait permasalahan yang terjadi saat ini, sudahi perang media, perang opini, waktunya kerja dan bertindak sesuai kewenanganya, jangan sampai rakyat/peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang di jadkan korban.

Dengan terjadinya kontroversi tersebut fakta membuktikan lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban. Seperti kasus yang terjadi saat ini peserta pekerja penerima upah (PPU) atas nama Nurul a dengan nomor peserta 00014540093** yang melahirkan anak keduanya. Peserta masuk rumah sakit swasta yang berada di daerah Cibinong pada Kamis 2 Agustus 2018 dan dilakukan operasi Caesar pada Jum’at 3 agustus 2018.

Saat akan dilakukan tindakan pihak adminitrasi menginformasikan untuk bayi sehat tidak di tanggung BPJS Kesehatan sesuai aturan BPJS Kesehatan. Dan atas argumentatif tersebut, keluarga diharuskan menandatangi surat pernyataan bahwa, keluarga harus membayar biaya pribadi sebesar lebih dari Rp. 3 juta untuk biaya bayi sehat. Sang suami dari Nurul A melaporkan kejadian tersebut kepada Relawan Jamkeswatch Bogor, dan tim pun sudah bertemu dengan pihak rumah sakit, namun tetap rumah sakit menyatakan tidak dicover BPJS Kesehatan.

Pada Sabtu 4 Agustus 2018 Relawan Jamkeswatch Bogor diberikan informasi bahwa pasien disuruh pulang oleh pihak rumah sakit. Padahal baru sehari yang lalu pasien menjalani tindakan Caesar pada Jum’at 3 Agustus 2018, pihak keluarga merasa diusir oleh pihak rumah sakit dengan informasi tersebut.

Melihat tayangan video wawancara Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris di Metro TV, Direksi faham betul permasahan yang terjadi, yaitu akibat defisit anggaran atau mismatch yang terjadi. Sehingga kami lihat saat ini BPJS Kesehatan panik, kami sepakat bpjs kesehatan tidak boleh menaikan iuran bagi peserta PBPU atau mandiri, karena saat ini daya beli masyarakat sedang menurun, masyarakat akan menjerit jika iuran PBPU di naikan. Namun ada solusi lain yang saya rasa mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi BPJS Kesehatan dengan :

1. Mendorong Kepesertaan Pekerja Penerima Upah (PPU) dari 47 juta orang buruh formal seluruh Indonesia, baru 28.999,986 orang yang terdaftar sebagai peserta JKN-BPJS Kesehatan, itupun beserta anggota keluarganya. Itu artinya masih ada sekitar 30 juta pekerja formal yang belum menjadi peserta JKN-BPJS Kesehatan. Padahal jelas iuran PPU pasti karena dipotong langsung dari upah di tiap bulannya sebelum upah di terima. Disini kami sudah melihat kegagalan pemerintah dalam menjalankan UU SJSN No 40 tahun 2004 dan Perpes 111 tahun 2013 yang menegaskan roadmap Kepesertaan JKN-BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2016 untuk perusahaan makro dan mikro.

2. Menaikan Iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena jelas sejak awal hitungan aktuaria para akademisi menyatakan idealnya untuk iuran PBI adalah sebesar Rp. 36000. Lalu tiba-tiba pemerintah malah menetapkan Rp, 19000 dan baru ada kenaikan pada 2016 sesuai Perpres No. 19 tahun 2016 menjadi Rp. 23000. Jadi saya rasa wajar kalau setiap tahun BPJS Kesehatan mengalami defisit, sumber masalahnya tidak di perbaiki.

3. Menjadikan semua Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Mandiri dengan manfaat kelas 3 (tiga) yang menunggak iuran sebagai penerima bantuan iuran, seperti di Kabupaten Bogor ada sekitar 50 ribu peserta mandiri dengan manfaat kelas 3 (tiga) menunggak, hal itu terjadi karena berbagai macam permasalahan.

Bogor, 4 Agustus 2018

Heri Irawan
Deputi Direktur Advokasi dan Relawan Jamkeswatch -KSPI

Pos terkait