Jakarta, KPonline – Didampingi Biro Kesra Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Rabu (18/05/2016) lima orang perwakilan buruh Jawa Timur menemui Komisi IX DPR RI di Jakarta. Mereka adalah Jazuli, Ardian Safendra, Memet Hermanto, Syarifudin dan Khoirul Anam. Kelimanya adalah perwakilan dari empat daerah ring satu Jawa Timur.
Perwakilan buruh tersebut sempat menunggu kurang lebih 5 (lima) jam, karena setelah berada di Sekretariat Komisi IX. Hal ini, karena, kunjungan mereka tidak ada dalam jadwal komisi .
Namun mereka tidak menyerah begitu saja. Sebagian melakukan loby, sedangkan yang lain menunggu di depan pintu ruang sidang. Sambil mengamati seandainya sidang selesai mereka bisa menyampaikan aspirasi meskipun dari luar ruang sidang.
Pukul 13.00 wib, ternyata pintu ruang sidang dibuka dan dari dalam terdengar suara yang mempersilahkan para buruh untuk memasuki ruang sidang. Mereka diterima langsung Ketua Komisi IX Dede Yusuf. Dalam pertemuan tersebut, rombongan menyampaikan Surat Rekomendasi dari Gubernur Jawa Timur, yang merupakan hasil dari aksi Mayday yang lalu.
Ada enam tuntutan yang direkomendasikan Gubernur:
Pertama, meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dengan mengembalikan ketentuan yang terkait kebijakan pengupahan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
Kedua, memberikan perlindungan hukum kepada pekerja/buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyampaikan aspirasi serta dalam menjalankan kegiatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Ketiga, membubarkan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dengan segera melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang efektif, efisien, dan berkeadilan yang melindungi pekerja/buruh.
Keempat, meninjau kembali ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait pengalihan penyelenggaraan pengawasan Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Provinsi, dengan mengembalikan fungsi Pengawasan Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota karena dinilai lebih efektif dan efisien.
Kelima, menolak Rancangan Undang-2 tentang Tax Amnesty;
Keenam, menolak Surat Edaran Direktorat Jenderal Menakertrans Nomor 8.204/PHIJSK/III/2015
Dan berikut tanggapan dari komisi IX atas Surat rekomendasi tersebut :
Dalam bertemuan itu, Dede Yusuf memberikan tanggapan sebagai berikut:
A. Mengenai PP 78/2015
Komisi IX melalui Panitia Kerja (Panja) Pengupahan memutuskan: (1) Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, (2) Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang baru dengan formula baru yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (3) Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk tidak meninggalkan kewenangan daerah (tripartit), hak berunding (bipartit), penetapan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan penentuan inflasi daerah per satu tahun sekali, dan (4) Komisi IX DPR RI meminta pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang baru dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dengan terlebih dahulu disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan.
Keputusan Panja pengupahan ini akan sesegera mungkin dikirim kepada Ketua DPR RI untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Diharapkan sebelum September pemerintah sudah menanggapi, sehingga proses kenaikan upah bisa berjalan dengan baik.
B.Terkait Revisi PPHI
Memang sudah ada pembahasan,sempat berjalan selama tiga bulan namun karena draft naskah akademik dari pemerintah belum lengkap maka revisi UU PPHI ditunda terlebih dahulu dan mendahulukan UU PPLN (Perlindungan Pekerja Luar Negeri) karena banyak kasus yang terjadi.
Namun Revisi UU PPHI sudah on going proses ,masuk Prolegnas tinggal menunggu proses .
jadi intinya Revisi UU PPHI sudah dan dalam proses pembahasan.
C.Kriminalisasi Terhadap buruh.
Komisi IX DPR RI sudah mengirimkan surat kepada Kapolri untuk tidak melakukan tindakan Represif terhadap buruh yang melakukan penyampaian pendapat di muka umum,namun Komisi IX tidak bisa berbuat lebih ,karena yang bisa membahas persoalan hukum adalah Komisi III serta Kompolnas.
Setelah memahami laporan yang masuk tentang kriminalisasi terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang antara unjuk rasa dengan sudut pandang keamanan dan ketertiban,sehingga harus ada penyamaan persepsi antara keduanya.
D.Terkait Desentralisasi Pengawasan Disnaker.
Menanggapi ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait pengalihan penyelenggaraan pengawasan Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Provinsi,maka Komisi IX DPR RI sudah mengusulkan bahwa Pegawai Pengawasan Disnaker daerah dibuat sistem Pegawai vertikal,artinya pegawai daerah yang dibiayai pemerintah pusat,sehingga Bupati Walikota tidak bisa melakukan Rotasi dan Mutasi,mengingat Pengawasan Disnaker harus berolkompeten di bidangnya.
Yang terjadi saat ini adalah Bupati /Walikota sering melakukan rotasi pegawai Pengawasan dengan pegawai lain yang tidak kompeten sehingga hasil yang di dapatkan juga tidak maksimal.
Desentralisasi pengawasan ini dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait pengalihan penyelenggaraan pengawasan Ketenagakerjaan kepada Pemerintah Provinsi.
Jadi apabila buruh mengharap agar pengawasan tidak ditarik ke pusat maka harus ada Revisi UU terlebih dahulu,dan domain untuk melakuka revisi UU adalah di Komisi III ,jadi komisi IX hanya sebatas memberikan saran saja.
Audensi dengan KOMISI IX berlangsung selama satu jam,dan perwakilan buruh merasa puas dengan hasil pertemuan ini terutama pada poin Pencabutan PP 78 karena sudah menjadi Surat Keputusan yang akan segera disampaikan kepada ketua DPR dan Prediden.
Kontributor: Khoirul Anam