Bogor, KPonline – Seorang buruh pabrik yang bergerak di bidang otomotif mengeluh, perihal diwajibkannya setiap karyawan untuk mengunduh dan menggunakan aplikasi Peduli Lindungi. Aplikasi yang dibuat oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi tersebut, diwajibkan untuk diunduh dan digunakan oleh setiap karyawan di pabrik dia bekerja. “Agar bisa dipantau pergerakan diri kita. Katanya ini kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan di bidang industri,” ucapnya tanpa mengetahui maksud dan tujuan dari penggunaan aplikasi tersebut.
Dirinya dan banyak teman-temannya yang lain, mengeluhkan soal kewajiban pengunduhan dan penggunaan aplikasi tersebut, tanpa ada penjelasan yang jelas dari pihak Management perusahaan. “Jadi ribet. Keluar masuk pabrik harus scan barcode yang telah disediakan oleh pihak Management perusahaan, yang diletakkan di dekat pos security,” ujar rekan kerjanya yang lain. Sebut saja Parno namanya. Dia telat masuk kerja selama 5 menit, karena telepon seluler miliknya termasuk telepon seluler jenis “jadul”.
“Tadi pagi saya telat 5 menit. Maklum hape saya jadul,” celoteh Parno. Dirinya sempat “misuh-misuh” (ngomel-ngomel) entah kepada siapa. Termasuk sudah memasuki usia senja, Parno dan beberapa rekan kerja kembali berdiskusi di ruang istirahat. Dirinya mempertanyakan fungsi, maksud dan tujuan pengunduhan dan penggunaan aplikasi Peduli Lindungi, yang dirasa tidak begitu penting.
“Pasti ada pihak yang diuntungkan nih!” ketus Paidi. “Kan setiap aplikasi yang diunduh, mesti ada duitnya. Yang dapet ya yang punya aplikasi kan?” lanjut Paidi seraya delik matanya bertanya-tanya ke arah rekan-rekan kerjanya.
“Bisa jadi!” tukas Parno merasa ada pihak yang membantu pernyataan dan keluhannya tadi. “Kalau cuma biar bisa dipantau mobilitas kita di luar pabrik, kan bisa pakai aplikasi Whatsapp. Biasanya yang dipakai juga itu kok,” kesal Parno, yang memang sudah masuk kategori “old school” itu.
“Tambah lagi aja deh penggunaan quota data internet kita!” tambah Sueb, yang tiba-tiba datang sambil memegang gelas yang telah terisi kopi yang masih panas. “Kalo perusahaan mao nanggung pemakaian quota data internet gua tiap bulan mah, gua kaga napah-napah dah,” imbuh Sueb, sambil menyeruput kopi yang masih mengeluarkan uap panasnya.
Suasana kembali hening, entah apa yang ada dipikiran masing-masing buruh tersebut. Sedetik kemudian, bel istirahat berbunyi, mengingatkan mereka untuk kembali bekerja. Tidak ada solusi dalam diskusi warung kopi kali ini. Karena dalam pemikiran mereka, menambah aplikasi, itu berarti menambah beban biaya penggunaan data internet mereka. Dan pada akhirnya, bertambah pula pengeluaran mereka disetiap bulannya.
Parno, Paidi dan Sueb cuma bisa pasrah dengan pandemi yang sudah terjadi hampir 2 tahun lamanya ini. Bersyukur, pabrik mereka bekerja tidak tutup, merumahkan karyawan atau terjadi PHK sepihak. Dengan pandemi saja, Parno, Paidi dan Sueb sudah hampir “semaput” menghadapi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Apalagi ditambah aplikasi, yang di zaman canggih penuh dengan internet, segalanya membutuhkan biaya tinggi. (RDW)