Kotak Kosong Vs Calon Tunggal Dalam Pilkada 2024 Adalah Kegagalan Partai Politik

Kotak Kosong Vs Calon Tunggal Dalam Pilkada 2024 Adalah Kegagalan Partai Politik

Perhelatan pilkada serentak 2024 sebentar lagi akan digelar. Belakangan ramai dibicarakan baik dimedia sosial maupun dalam diskusi resmi tentang potensi adanya kotak kosong melawan pasangan calon tunggal dalam pemilu kepala daerah baik Bupati, Walikota dan Gubernur yang sengaja diciptakan.

Namun yang menggelitik adalah jika dalam pemilu nanti betul-betul terjadi ada kotak kosong melawan pasangan calon tunggal.

Betul memang diperbolehkan dalam sebuah kontestasi pemilu di Indonesia adanya kotak kosong, namun kotak kosong mengisyaratkan sebuah kegagalan puluhan partai politik di Indonesia dalam menciptakan kader untuk dimajukan sebagai kandidat calon dalam sebuah kontestasi politik.

Sehingga memunculkan beberapa pendapat yang perlu direnungi oleh para penyelenggara pemilu Indonesia bahwa :
1. Biaya pemilu tidaklah sedikit
2. Partai politik yang memenuhi syarat wajib untuk mendaftarkan calonnya karena partai politik punya tanggungjawab

Selain itu munculnya kotak kosong menggambarkan partai politik takut kalah dalam kontestasi politik. Bukankah partai politik diciptakan sebagai kendaraan bagi para calon pemimpin? Lantas kalau tidak mencalonkan bahkan cenderung mendukung dan mengkampayekan kotak kosong dimana semangat demokrasi dan tanggungjawab partai politik?

Penulis menyimak diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024).

Selanjutnya mengutip dan sepakat pendapat Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab yang memandang hadirnya calon tunggal dalam Pilkada merupakan gejala otoritarianisme politik.

Menurut dia hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.

Begitu partai politik (parpol) atau sekumpulan parpol mengajukan calon tunggal, kata dia, maka dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.

Dengan melihat esensi tersebut, menurut dia calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.

“Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini,” katanya

Selain itu, ia juga memandang calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan.

Yanto, Pengurus Pimpinan Pusat SPL FSPMI