Tangerang, KPonline – Kejaksaan Negeri Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, menahan 4 (empat) orang aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Sejak hari Kamis (18/8), keempatnya dititipkan di Rumah Tahanan Jambe. Mereka ditetapkan menjadi tersangka, buntut atas kericuhan yang terjadi di depan pabrik yang memproduksi permen karet merk Yosan, pada bulan Oktober 2015. Saat peristiswa itu terjadi, keempatnya bekerja di perusahaan tersebut.
Saat itu, buruh di Tangerang sedang melakukan unjuk rasa dilakukan untuk menuntut upah layak di Kabupaten Tangerang. Saat massa aksi bergerak menuju Puspemkab Tangerang di Tigaraksa dan melewati pabrik Yosan, massa berhenti sebentar. Orator menanyakan apakah dari perusahaan ini sudah mengirimkan perwakilannya untuk ikut aksi. Tidak hanya di Yosan hal seperti ini dilakukan. Sejak berangkat dari pabrik Jaba Garmindo (titik kumpul), massa secara otomatis berhenti di depan perusahaan yang dilalui untuk menanyakan apakah perusahaan tersebut sudah mengijinkan buruh-buruhnya mengikuti unjuk rasa.
Sesampainya di Yosan, sempat terjadi kericuhan dengan Satpam perusahaan. Buntut dari kericuhan itu, pihak perusahaan membuat laporan pengaduan ke pihak kepolisian. Selanjutnya empat orang yang kebetulan juga anggota Garda Metal ini ditetapkan sebagai tersangka. Pasal yang disangkakan kepada mereka adalah Pasal 160 KUHP (penghasutan) dan Pasal 170 KUHP (kekerasan di muka umum). Karena banyaknya massa, sebenarnya tidak jelas apakah keempatnya melakukan penghasutan dan tindak kekerasan. Bahkan ada yang menduga, keempatnya dilaporkan sebagai “balas dendam” perusahaan. Keempatnya bekerja di perusahaan itu dan menjadi anggota garda metal.
LBH FSPMI Agung Hermawan yang menjadi kuasa para tersangka mengatakan, tuduhan tersebut mengada-ada. “Terkait penganiayaan dengan kekerasan, tapi kenapa yang melapor manager HRD? Kenapa yang melapor bukan Satpam sebagai korban kekerasan? Dan mengapa tidak ada visum kalau diduga ada kekerasan,” katanya.
Untuk itu, tidak berlebihan jika penetapan ketiganya sebagai tersangka adalah bentuk kriminalisasi. Dalam buku berjudul Kriminalisasi, Modus dan Kasus-kasusnya, diterbitkan tahun 2016, dijelaskan secara rinci tentang arti, motif, dan indikator kriminalisasi. Agar pembaca mendapatkan pemahaman lebih utuh, berikut saya akan mengutip secara utuh dalam tulisan dibawah ini:
Tentu tak ada yang membantah bahwa hukum harus ditegakan. Tiap kejahatan harus diberikan sanksi, tiap terjadi dugaan tindak pidana harus dapat diusut oleh aparat penegak hukum, dan oleh karenanya penegak hukum harus diberikan wewenang yang cukup untuk mampu mengusutnya.
Namun, apa yang akan terjadi jika kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum disalahgunakan untuk kepentingan lain selain untuk menegakan hukum itu sendiri?
“Kriminalisasi” pada dasarnya adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain di baliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan Tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi Tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru mendapat kecaman dan perlawanan. Dengan kata lain ada penyalahgunaan kewenangan penegakan hukum.
Sementara dari berbagai kasus yang dilihat,“Kriminalisasi” memiliki beberapa karakteristik, pertama, melibatkan aparat penegak hukum, khususnya penyidik. Kedua, Menggunakan proses hukum acara pidana oleh aparat penegak hukum. Ketiga, Proses hukum acara pidana dilakukan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau “probable cause”, atau bukti yang diada-adakan. Terakhir, Dilakukan dengan itikad buruk, atau improper motive atau improper purpose.
Motif dari “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban. Termasuk dengan menghalalkan cara yang tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum.
Unsur motif merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan apakah ini “Kriminalisasi” atau bukan. Pihak yang mengklaim bahwa kasusnya adalah “Kriminalisasi” haruslah bisa membuktikan adanya motif yang tidak patut ini dari aparat penegak hukum (penyidik) ini. Terdapat sejumlah cara untuk membuktikan adanya motif “kriminalisasi”.
Hal yang paling utama untuk diketahui adalah melihat secara rinci latar belakang perkara, khususnya hubungan atau konflik antara Korban (pihak yang dilaporkan kepada penegak hukum) dengan Pelapor atau pihak lain yang diduga berada dibelakang pelapor, atau konflik antara Korban dengan pihak Penegak Hukum itu sendiri. Termasuk juga perlu dilihat hubungan antara si pelapor dengan pihak yang diuntungkannya. Selain relasi aktor sebagaimana digambarkan diatas, untuk membuka motif perlu pula dilihat bentuk atau sifat dari keuntungan yang tidak wajar yang akan diterima oleh pihak Pelapor dan atau penegak hukum tersebut dengan diusutnya pemidanaan yang dipaksakan tersebut.
Selain latar belakang, indikator lain yang dapat digunakan untuk menunjukan dugaan terjadinya “kriminalisasi” adalah, pertama, adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara, termasuk adanya diskriminasi dalam penangangan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor. Kedua, penggunaan pasal-pasal pidana yang berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang digambarkan, terutama pasal-pasal yang dapat dikenakan penahanan. Ketiga, proses penanganan perkara yang tidak sesuai hukum acara dan administrasi perkara yang buruk. Keempat, penggunaan upaya paksa yang berlebihan, Ada kekerasan dalam proses hukum.
Selanjutnya, kelima, adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara atau undue delay. Keenam, ketidakwajaran siapa yang menjadi pelapor tindak pidana. Terakhir, ketujuh, lemahnya bukti permulaan yang cukup yang dimiliki oleh penyidik untuk memulai penyidikan. Daftar ini tentunya bisa dipersingkat atau ditambah lagi, namun demikian ketujuh indikator diatas adalah ukuran yang disusun dari berbagai kasus yang ada, dan kemudian bisa disimpulkan sementara sebagai rujukan untuk melihat kasus kriminalisasi. (*)