Jakarta, KPonline – Kalangan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana pemerintah menurunkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) karena akan makin membebani rakyat berpenghasilan rendah dan buruh.
“Kami tolak rencana penurunan PTKP itu,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Minggu (23/7/2017), sebagaimana diberitakan okezone.com.
Menurut Said Iqbal, semestinya pemerintah memprioritaskan wajib pajak besar terutama yang belum membayar pajak dan juga para pengemplang pajak untuk meningkatkan pendapatan pajak. Apalagi, saat ini daya beli masyarakat berpenghasilan kecil dan buruh masih rendah sehingga rencana penurunan PTKP akan makin menggerus penghasilan.
“Pemerintah tidak bisa membandingkan dengan daya beli negara lain seperti Malaysia yang sudah tinggi. Daya beli di Indonesia masih rendah. Jadi, bandingannya tidak ‘apple to apple’,” ujarnya.
Selain daya beli, tingkat pendapatan di Indonesia masih rendah dan tingkat kesenjangan juga masih tinggi.
Said Iqbal juga menyoroti bahwa rencana penurunan PTKP tersebut membuktikan pemerintah tidak “fair”. Dulu, tambahnya, saat sosialisasi program amnesti pajak (tax amnesty), pemerintah menaikkan PKTP hingga 50 persen, namun saat ini, pemerintah berencana menurunkannya.
Pada 2016, pemerintah menaikkan PTKP sebesar 50 persen dari Rp36 juta per tahun atau Rp3 juta per bulan menjadi Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan.
“Setelah program ‘tax amnesty’ berjalan dan diklaim berhasil, pemerintah berencana menurunkan PTKP,” katanya.
Menurut dia, pihaknya juga sempat menuntut pemerintah mencabut UU Tax Amnesty karena dinilai hanya menguntungkan wajib pajak besar dan merugikan buruh. Oleh karena itu, Said kembali meminta pemerintah menyasar wajib pajak besar untuk meningkatkan pendapatan pajak.
“Pemerintah mestinya memprioritaskan penerimaan pajak dari dana-dana hasil program ‘tax amnesty’ itu, ketimbang mengejar-ngejar masyarakat berpenghasilan rendah dan buruh,” katanya.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan berencana menurunkan PTKP sebagai upaya meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (rasio pajak). Selain itu, pertimbangan lain adalah PTKP di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang Rp13 juta per tahun atau Rp1,083 juta per bulan. Saat ini, PTKP di Indonesia ditetapkan Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. PTKP baru direncanakan menjadi sesuai upah minimum regional (UMR).
Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk indikasi pemerintah akan memalak pajak kepada masyarakat berpenghasilan rendah di bawah Rp 4,5 juta perbulan.
“Mikir dong Mba Sri! Sebagai ekonom jangan mikirnya kayak tukang sayur atau kasir yang kekurangan uang langsung serabutan cari uang untuk nutupi kekurangan, mencari dari sumber-sumber yang sekalipun sudah sangat kekurangan dengan pendapatan yang rendah,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerinda Arief Poyuono
Arief juga menilai perbandingan antara PTKP Indonesia dengan negara ASEAN yang disebut Sri Mulyani tertinggi dan menjadi landasan untuk menurunkan PTKP adalah pernyataan ngawur. Namun buruh di negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar memiliki daya beli yang tinggi karena harga kebutuhan bahan pokok murah dan tersedia, harga energi murah, transportasi murah, dan mendapatkan banyak fasilitas jaring pengaman ekonomi dari pemerintahnya
“Nah di Indonesia kebutuhan bahan pokok saja harganya selangit untuk masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta. Belum lagi biaya transportasi dan harga energi yang menyekik leher masyarakat,” urainya.