Purwakarta, KPonline – Setiap pagi, Andi selalu memulai harinya dengan secangkir kopi hitam dan renungan singkat di beranda rumahnya yang sederhana. Sejak ia bergabung dengan serikat pekerja di pabrik tekstil tempatnya bekerja, rutinitas itu menjadi waktu untuk mensyukuri dan menyusun harmoni antara pikirannya yang penuh rencana, hatinya yang penuh harapan, dan jiwanya yang perlahan menemukan ketenangan.
Dulu, Andi hanya bekerja demi upah. Lelah tak terbendung, suara tak terdengar. Ia merasa seperti roda dalam mesin besar yang terus berputar tanpa arah. Tapi semua berubah saat ia mengikuti diskusi kecil yang diadakan oleh serikat pekerja. Disana, ia tak hanya menemukan wadah untuk menyuarakan keluh kesah, tapi juga menyadari bahwa kesejahteraan bukan hanya sekadar angka di slip (gaji) penghasilannya.
“Serikat ini bukan hanya soal tuntutan,” kata Parjo, salah satu pengurus serikat, “tapi tentang membangun keselarasan antara hak, tanggung jawab, dan martabat sebagai manusia.”
Kata-kata itu pun terpatri dalam benaknya. Seiring waktu berlalu, Andi belajar menyuarakan pendapatnya dengan tenang, berdiskusi tanpa rasa takut, dan mulai memikirkan masa depan yang lebih adil, dimana bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk rekan-rekannya.
Hari-harinya mulai terasa berbeda. Ia pulang kerja dengan perasaan lebih ringan, karena tahu ada perlindungan. Ia bisa tertawa di sela rapat serikat, berdiskusi soal perbaikan kondisi kerja, bahkan ikut menyusun pelatihan keterampilan untuk pekerja muda. Hatinya hangat saat melihat dampaknya bagi teman-temannya. Jiwanya damai karena ia tahu, ia bukan lagi sekadar pekerja, melainkan ia adalah bagian dari perubahan.
Suatu hari, anaknya bertanya, “Ayah, kenapa Ayah sering ikut rapat serikat?”
Andi tersenyum, mengelus kepala anaknya. “Karena Ayah ingin kamu tumbuh di dunia yang lebih adil. Dan itu dimulai dari tempat Ayah bekerja. Ayah sedang belajar jadi manusia seutuhnya, Nak. Dengan pikiran yang berpikir, hati yang peduli, dan jiwa yang tenang”.
Kesejahteraan sejati, ia sadari, bukan semata tentang materi. Tapi tentang keselarasan dalam diri, saat suara batin tak lagi bertentangan dengan tindakan, dan saat ia merasa hidupnya berarti.
Dan itu semua dimulai, dari keberanian untuk bergabung dan bersuara menjadi bagian dari serikat pekerja.