Lapangan Kerja Untuk Laki-Laki di Batam Yang Mulai Tergusur

Lapangan Kerja Untuk Laki-Laki di Batam Yang Mulai Tergusur

Batam,KPonline – Baru pukul sembilan, tapi cuaca di Batam sudah mulai panas. Agus  seorang laki-laki muda dengan baju putih dan celana hitam nampak menyeka keringatnya. Ia bersama ratusan pencari kerja pagi itu menyerbu sebuah papan pengumuman di Aula Multi Purpose Hall (MPH) Batamindo Mukakuning, Batam. Terlihat para pencaker memadati ruangan hall yang biasa dikunjungi oleh para pencari kerja di Kota Batam.

Mereka ‘berebut’ lowongan kerja untuk operator di sebuah PT di Batamindo . Para pencaker antri memberikan lamaran sambil mengukur tinggi badan pada alat ukur yang tersedia di lokasi. Pelamar terlihat sangat antusias dan terus memadati kawasan Batamindo.

Bacaan Lainnya

Sudah hampir enam bulan Agus menganggur. Setiap hari nyaris ia datang ke tempat itu. Agus yang baru tamat SMK tahun kemarin memang sudah membulatkan tekadnya untuk datang ke Batam. Beruntung Agus punya saudara di Batam . Buruh pabrik kini menjadi salah satu profesi primadona bagi lulusan SMK seperti Agus yang tidak akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mereka menyimpan harapan besar bahwa masa depannya bisa terajut di pabrik tersebut.

Apakah ini dikarenakan biaya pendidikan di perguruan tinggi semakin tidak terjangkau, sehingga lulusan SMK memilih bekerja dibandingkan melanjutkan pendidikannya? Atau karena menjadi buruh pabrik saat ini menjadi pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan? Sayangnya banyak calon pelamar laki-laki yang kecewa. Kini kebanyakan PT lebih banyak menerima karyawan perempuan. Inilah yang terjadi di Batam.

Pagi hari, sang ibu di Batam sibuk berdandan dan menyiapkan keperluan dirinya untuk berangkat kerja. Ya, karena pagi-pagi buta ia harus berangkat untuk mencari nafkah sebagai pekerja di pabrik. Sementara suaminya, sejak pagi sibuk mengurusi anaknya yang baru bangun. Lantas bersiap mengantar sang istri tercinta ke tempat kerja. Sepulang mengantar istrinya, sang suami pun hanya di rumah saja mengurus anak dan pekerjaan rumah.

Untuk memahami realitas dari fenomena ini memang sulit. Kita harus bisa menentukan angle atau sudut pandang yang tepat. Terlebih untuk masalah sensitif gender seperti ini. Melihat masalah ini, bisa saja kita memandang dari sisi perempuan. Misalnya perihal kesejahteran kaum buruh perempuan yang tak kunjung meningkat. Ataupun stereotype lain tentang buruh perempuan.

Tapi nyatanya, dalam masalah seperti ini, ada kelompok lain yang secara tidak langsung termarginalkan akibat perlakuan “istimewa” pada kaum perempuan terkait lapangan pekerjaan. Inilah yang seringkali luput dari perhatian pemerintah.

Dalam ilmu komunikasi, dikenal Standpoint Theory. Standpoint ialah suatu tempat dimana kita melihat dunia atau realitas di sekitar kita.Teori yang digagas oleh Sandra Harding dan Julia T Wood ini menyatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana keadaan dunia kita, salah satu cara terbaik yang dapat dilakukan adalah yaitu dengan memulai penyelidikan kita dari standpoint kaum wanita dan kelompok-kelompok marginal lain.

Demikian halnya fenomena ini. Untuk memahami keadaan yang sebenarnya, selayaknya kita memahami persoalan dari kelompok yang termarginalkan. Walaupun dalam teorinya standpoint lebih banyak fokus pada perempuan, namun laki-laki sebagai kelompok yang termarginalkan pun perlu mendapat perhatian kali ini.

Terlebih, masih menurut teori ini, orang-orang yang berada di puncak hirarki sosial memiliki kekuatan untuk membatasi kelompok yang lain. Secara hirarki, pemerintah daerah berada lebih tinggi dibanding rakyatnya.

Untuk itulah, semestinya pemerintah daerah harus lebih sensitif lagi dalam merumuskan kebijakan. Sensitif dalam hal apa? Tentu saja sensitif gender. Pertimbangan gender selama ini kerap dilupakan oleh para pemangku kebijakan dalam merumuskan program untuk rakyatnya. Acapkali mereka hanya berorientasi pada faktor ekonomi dalam pelaksanaan pembangunan tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Salah satunya masalah gender tadi.

Apa yang terjadi ini tentu saja tak boleh terus dibiarkan. Pemerintah daerah harus segera menyadari perihal kebijakan mereka. Akibat dari banyak terserapnya angkatan kerja perempuan, ternyata menyimpan potensi kemiskinan dalam kaum laki-laki yang tak terjamah lapangan kerja. Kedepannya, haruslah tersedia lapangan kerja yang berimbang, antara laki-laki dan juga perempuan. Agar tujuan pembangunan yang dicita-citakan bisa tercapai tanpa “menggusur” salah satu pihak untuk memperoleh pekerjaan.

Pos terkait