Mojokerto, KPonline – Berbagai persepsi dan asumsi terus bergulir semenjak dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan. Aturan itu adalah amanah dari Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 pasal 80 ayat (4).
Ditengah tata kelola jaminan kesehatan yang belum bisa dikatakan berjalan dengan baik. Adanya urun biaya dan pembatasan kelas kepada pasien, Tak pelak memantik kegaduhan dan kebingungan di masyarakat. Sebagian dari mereka kuatir adanya urun biaya dan selisih biaya ini semakin memberatkan peserta, serta berpotensi terjadinya kecurangan yang lebih masif dan terstruktur.
Namun belumlah usai rasa penasaran dan keheranan masyarakat, Kementerian Kesehatan secara mengejutkan dalam siaran pers memastikan bahwa regulasi itu belum berlaku sepenuhnya.
Dilansir dari media pada Senin (21/1), Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes, Sundoyo, menjelaskan, “Permenkes itu belum berlaku, sebab jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenakan urun biaya menunggu penetapan Menteri Kesehatan setelah dikaji oleh Tim yang unsurnya terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Akademisi dan Kementerian Kesehatan,”
Menurutnya, pengenaan urun biaya terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, dimaksudkan untuk kendali mutu dan kendali biaya. Selain itu, mencegah moral hazard karena jenis pelayanan kesehatan tersebut dipengaruhi oleh perilaku dan selera peserta.
Ia mencontohkan perilaku dan selera peserta berupa pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.
Senada pihak Kemenkes, pihak BPJS Kesehatan melalui Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan Budi Mohammad Arief di media mengatakan, “Regulasi ini bermaksud agar peserta tidak bisa seenaknya menginginkan pelayanan yang menurutnya harus didapat. Karena itu harus bayar,” Ucapnya.
Budi menambahkan bahwa pengenaan urun biaya terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan masih membutuhkan proses yang panjang, sebab Menteri Kesehatan harus membentuk tim khusus. Tim nanti bertugas melakukan pengkajian atas usulan dan uji publik serta membuat rekomendasi.
Terkait Permenkes 51/2018, Jamkeswatch Jawa Timur melalui Ipang Sugiasmoro mengatakan “Permenkes ini setengah matang karena mitigasi resikonya minim dan hanya sebagian aturan yang bisa dijalankan. Aturan itu juga salah sasaran, seolah-olah defisit anggaran, rendahnya kualitas pelayanan dan soal moral hazard menjadi tanggung jawab yang dibebankan pada peserta. Ini logical fallacy (kerancuan berpikir) yang jauh dari filosofi dan tujuan jaminan sosial. Kami meminta sebaiknya Permenkes ini dicabut agar tidak menjadi infeksi serius dalam program JKN yang sedang dibedah direhab.
Ia menambahkan, Perlu di garisbawahi, masalah utama jaminan kesehatan adalah kualitas pelayanan dan defisit anggaran. Sebegitu berkontribusikah urun/selisih biaya dalam permasalahan JKN sehingga menjadi prioritas? Tandasnya.
Memang permasalahan JKN tidak akan bisa ditangani sendiri oleh BPJS Kesehatan, dibutuhkan peran dan komitmen semua pihak. Karena begitu bernilai dan kompleksnya urusan kesehatan, jangan sampai terjebak konflik kepentingan, dibelokkan tujuan apalagi disalahgunakan kesempatannya. Kegagalan program JKN berarti juga kegagalan pemerintah menjalankan program negara amanah rakyat.
Kontributor Mojokerto
Wiji Sekar Melur Sari