Jakarta, KPonline – Sebagian besar umat Islam Indonesia akan melaksanakan Idul Adha, Rabu (22/8/2018). Di hari raya ini, bukan saja melaksanakan shalat Idul Adha, tetapi juga ada penyembelihan hewan kurban. Sementara bagi yang mampu, ini juga bertepatan dengan ibadah haji.
Sejarah Idul Adha merupakan kisah yang mengharu pilu. Sebuah kisah dimana pada saat itu Nabi Ibrahim diperitahkan oleh Allah SWT. untuk menyembelih putranya yakni Nabi Ismail. Padahal Ismail adalah anak satu-satunya yang sangat ia cintai.
Namun karena tahu ini adalah perintah Allah, Nabi Ibrahim mengabaikan perasaannya. Ini semata-mata ia lakukan demi menjalankan serta mendekatkan dirinya kepada Allah Sang Pencipta.
Nabi Ibrahim yang gunda gulana akhirnya pun menceritakan perihal mimpinya kepada istrinya. Kata istrinya, jika memang itu merupakan perintah dari Allah SWT, maka segera laksanakanlah!
Begitu pun dengan Nabi Ismail. Ia juga membesarkan hati ayahnya.
Inilah gambaran keluarga yang berserah diri kepada Allah. Suami, istri, anak, yang saling mendukung. Saling menguatkan.
Kesungguhan serta keihklasan Nabi Ibrahim dengan menjalankan perintah Allah SWT., dibalas dengan perubahan (pergantian) putranya (Nabi Ismail) dengan hewan kurban.
Lantas, apa yang bisa kita teladani dari kisah di atas?
Pertama, semangat berbagi untuk sesama. Saat Idul Adha, setiap umat muslim yang memiliki kemampuan, dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Setelah itu, daging kurban akan dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini secara tidak langsung mengajarkan untuk memiliki semangat yang tinggi dalam berbagi.
Begitu pun dengan pekerja. Kita harus selalu menjunjung tinggi solidaritas, bergotong royong, setia kawan, dan saling membantu antar sesama. Kita boleh bekerja di tempat yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah sama-sama pekerja.
Kedua, dibutuh pengorbanan untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan. Di Idul Adha inilah, umat muslim diingatkan kembali bahwa untuk mencapai segala hal yang diimpikan, maka pengorbanan wajib dilakukan.
Tidak ada perubahan jika kaum itu sendiri tidak berjuang untuk merubahnya. Maka agar cita-cita yang kita inginkan tercapai, kita harus bekerja keras. Mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan tersebut.
Ketiga, ikhlas dalam menghadapi semua cobaan. Ketika datang perintah dari Allah untuk Nabi Ibrahim agar menyembelih Nabi Ismail, ada sikap yang perlu dicontoh dari kedua nabi tersebut, yaitu keikhlasan saat cobaan sedang datang. Baik sang ayah, Nabi Ibrahim, maupun sang anak, Nabi Ismail tidak ada sepatah keluh kesah pun keluar dari mulut mereka.
Adakalanya apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun demikian jangan putus asa. Teruslah berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Ikhlas bukan nrimo. Tetapi bekerja dengan penuh kesungguhan, tetapi hasilnya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah.
Keempat, tulus melaksanakan perintah. Nabi Ismail yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim sebenarnya adalah anak satu-satunya yang dimiliki. Itupun setelah menunggu sekian lamanya. Kemudian ketika datang perintah untuk menyembelih Nabi Ismail, Nabi Ibrahim tanpa banyak beralasan akhirnya melaksanakan tugas itu.
Terhadap apa yang diwajibkan, kita tidak akan mencari-cari alasan untuk tidak menjalankannya. Begitu pun sebaliknya, dalam konteks sebagai pekerja, kita juga berharap agar apa yang menjadi hak kita ditunaikan.
Kelima, tidak perlu sombong karena kita sebenarnya tak punya apa-apa. Penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim sebenarnya secara tidak langsung mengajarkan bahwa tidak ada apa pun yang dimiliki secara mutlak oleh seseorang. Semua yang dimiliki saat ini hanyalah titipan dari Allah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Setinggi apapun posisi di perusahaan, sebesar apapun gaji yang kita terima, sadarlah bahwa kita hanyalah buruh. Pada saatnya kita akan kehilangan itu semua, entah karena di PHK, pensiun, atau meninggal dunia.
Artikel ini disadur dari Tribunjambi.com dengan judul ‘Ini 6 Makna dan Hikmah dari Idul Adha’
1 Komentar
Komentar ditutup.