Makna Pengunduran Diri Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar Bagi Kelas Pekerja

Makna Pengunduran Diri Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar Bagi Kelas Pekerja
Airlangga Hartarto

Hari ini, media sosial dan berbagai grup diskusi politik ramai membicarakan pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Saya bahkan mendapat beberapa pesan WhatsApp yang menautkan berita pengunduran diri sosok yang juga menjadi Menko Perekonomian itu.

Bagi kalangan elit politik, peristiwa ini dianggap penting dan mampu mengubah peta politik di Indonesia. Namun, bagi kelas pekerja, saya rasa pengunduran diri tersebut tidak membawa arti yang signifikan.

Selama masa kepemimpinannya di Partai Golkar, Airlangga Hartarto dikenal sebagai salah satu tokoh utama di balik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). UU ini menjadi kontroversi besar di kalangan pekerja karena menggerus hak-hak mereka dan memperlemah posisi tawar buruh. Dengan mundurnya Airlangga, kelas pekerja harus melihat momen ini dengan penuh kewaspadaan dan refleksi kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang telah ia dukung, terutama terkait dampaknya terhadap masa depan dan kesejahteraan.

Airlangga menyatakan bahwa pengunduran dirinya dilakukan demi menjaga keutuhan Partai Golkar. Namun, bagi kita, pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah keutuhan partai ini benar-benar sejalan dengan kepentingan kelas pekerja? Selama ini, Partai Golkar, dengan berbagai kebijakan yang didukungnya, termasuk UU Cipta Kerja, telah mengesampingkan banyak aspirasi dan kebutuhan pekerja. Maka dari itu, dengan adanya perubahan kepemimpinan di Partai Golkar ini, saya khawatir, peminggiran hak-hak pekerja akan terus terjadi.

Perubahan di pucuk pimpinan Partai Golkar memang membawa harapan bahwa pemimpin baru akan lebih responsif terhadap tuntutan pekerja. Kelas pekerja mengharapkan adanya langkah konkret dari pemimpin baru untuk merevisi atau bahkan mencabut ketentuan-ketentuan yang merugikan dalam UU Cipta Kerja, yang selama ini menjadi sumber ketidakpuasan di kalangan buruh. Namun, perubahan ini hanya bisa berarti jika disertai dengan keseriusan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan membawa kebijakan yang lebih berpihak kepada pekerja.

Golkar tidak boleh lepas tangan dari tanggung jawab atas kebijakan yang mereka dukung selama ini, termasuk UU Cipta Kerja. Pengunduran diri Airlangga tidak boleh dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab ini. Kelas pekerja akan terus menuntut agar Partai Golkar, di bawah kepemimpinan baru, memperbaiki kebijakan yang telah merugikan pekerja dan mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi hak-hak mereka.

Di tengah perubahan ini, kelas pekerja harus tetap waspada dan kritis terhadap siapa pun yang akan menggantikan Airlangga Hartarto. Penting untuk memastikan bahwa kepemimpinan baru tidak hanya melanjutkan agenda yang sama, tetapi benar-benar membawa perubahan yang lebih berpihak kepada kesejahteraan pekerja. Serikat pekerja dan komunitas pekerja perlu meningkatkan tekanan dan pengawasan terhadap Partai Golkar, memperkuat solidaritas, dan terus memperjuangkan revisi kebijakan yang lebih adil bagi buruh, terutama dalam konteks UU Cipta Kerja.

Bagi kelas pekerja, pengunduran diri Airlangga Hartarto bukanlah suatu hal yang patut dirayakan. Ini adalah pengingat bahwa perubahan sejati tidak hanya datang dari pergeseran kepemimpinan, tetapi dari upaya terus-menerus untuk memperjuangkan hak-hak pekerja dan melindungi kepentingan mereka di tengah pergolakan politik.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan