Jakarta,KPonline – Langkah tegas diambil Pemerintah setelah Malaysia menghianati kesepakatan MoU soal penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Untuk sementara, Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Ida Fauziah stop pengiriman TKI ke Malaysia. Apa yang dilakukan Menaker ini, tak lain untuk memberi pelajaran kepada Malaysia agar kembali mematuhi MoU yang sudah disepakati.
Adapun kesepakatan yang dilanggar Malaysia adalah MoU untuk menerapkan sistem satu kanal (one channel system) bagi TKI di sektor domestik atau non formal. Kesepakatan itu, ditandatangani 1 April 2022 di Istana Negara Jakarta, disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri.
Namun, dalam prakteknya di lapangan, Malaysia justru mengabaikan MoU yang sudah disepakati dua pimpinan negara itu. Negeri Jiran tetap saja menerapkan System Maid Online (SMO) yang dikelola Kementerian Dalam Negeri Malaysia melalui Jabatan Imigreseen Malaysia.
Menurut Ida, SMO merupakan sistem perekrutan pekerja migran Indonesia (PMI) sektor domestik atau pembantu rumah tangga (PRT) yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal kedua negara. Penggunaan SMO membuat Pemerintah RI tidak mengetahui nama majikan dan besaran gaji yang diterima PRT.
Tak heran, aplikasi milik Kemendagri Malaysia ini, membuat posisi PMI menjadi rentan tereksploitasi. “KBRI di Kuala Lumpur merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat untuk menghentikan sementara waktu penempatan PMI di Malaysia, hingga terdapat klarifikasi dari Pemerintah Malaysia, termasuk komitmen untuk menutup mekanisme SMO sebagai jalur penempatan PMI,” kata Ida dalam keterangan tertulisnya, kemarin.
Menteri asal PKB ini menjelaskan, berdasarkan MoU yang sudah ditandatangani, perekrutan PMI sektor domestik hanya dilakukan melalui sistem satu kanal. Kanal tersebut menjadi satu-satunya mekanisme resmi untuk merekrut dan menempatkan PMI sektor domestik di Malaysia.
Dengan kanal itu juga, Pemerintah dapat meninjau besaran gaji hingga jaminan sosial kesehatan PMI yang telah disepakati. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.
Tak hanya menyetop pengiriman TKI, Pemerintah juga sudah melaporkan langkah tegas ini kepada Pemerintah Malaysia. Namun, hingga kini belum ada respons positif dari negeri Upin-Ipin itu. Sebaliknya, Malaysia santai menghadapi keputusan Indonesia untuk stop sementara pengiriman TKI.
Dikutip dari kantor berita Bernama pada Kamis (14/7), Mendagri Malay¬sia, Hamzah Zainudin mengatakan, pihaknya tidak mau ambil pusing soal penyetopan pengiriman tenaga kerja dari Indonesia. Kata dia, Malaysia akan mengambil pekerja dari negara lain, termasuk Bangladesh. Hamzah bilang, masih banyak pekerja asing yang ingin bekerja di negaranya.
“Kami memiliki 15 negara pemasok pekerja migran untuk memenuhi kebu¬tuhan kami,” ungkap Hamzah.
Mendengar respons tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, murka. Dia mengecam penolakan Malaysia untuk mematuhi MoU pengiriman PMI yang bekerja dalam sektor non formal. Padahal, penandatanganan MoU ini disaksikan langsung oleh kedua pimpinan negara.
“Apa gunanya menandatangani MoU ini di depan presiden saya jika tidak dihormati? Hormatilah,” tegas Hermono.
Kata dia, Indonesia terbuka jika Malaysia berniat membatalkan MoU yang sudah ditandatangani itu. “Kalau tidak setuju, putus saja (batal). Anda bisa menulis surat untuk membatalkan perjanjian, serahkan ke kedutaan dan kami akan sampaikan ke pemerintah. Tidak masalah,” tekannya.
Sementara itu, langkah tegas Menteri Ida dapat dukungan dari wakil rakyat di Senayan. Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay menegaskan, perlindungan bagi PMI merupakan prioritas utama. Dia pun heran dengan sikap Malaysia yang malah balik ke sistem lama yang jelas-jelas merugikan.
“Mestinya, sejak ada penandatan¬ganan MoU itu, proses penempatan PMI sudah tidak lagi pakai cara lama,” tekan Saleh.
Politisi PAN ini menegaskan, In¬donesia tidak boleh kalah dengan negara manapun. Kebijakan yang cuma merugikan Indonesia harus dihapuskan. “Dengan begitu, kondisi seluruh PMI yang ada di Malaysia dapat dipastikan kenyamanan dan keamanannya,” do¬rong Saleh.
Hal senada juga disampaikan anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo. Dia mendukung Ida memberi¬kan pelajaran ke Malaysia dengan me¬nyetop pengiriman PMI sebagai ART.
“Kalau toh pada akhirnya pelaksa¬naan MoU itu tidak mencerminkan asas kemanusiaan, maka hak kita sebagai bangsa memberikan pelajaran ke Malaysia dengan menghentikan pengiriman PMI kita,” tukas Rahmad.
Di luar Senayan, Ketua Pusat Studi Migrant Care, Anis Hidayah juga mendu¬kung langkah tegas yang diambil Menteri Ida. Kata dia, moratorium itu untuk memperbaiki kembali segala aturan yang merugikan PMI di luar negeri. Termasuk memberantas sindikat penyalur tenaga kerja ilegal di kedua negara.
“Terutama yang berangkat melalui pelabuhan. Banyak pihak imigrasi yang bermain. Ini harus segera ditin-dak,” ujar Anis.
Seperti di ketahui perusahaan Malaysia telah mengajukan sekitar 20.000 aplikasi untuk pekerja, sekitar setengahnya untuk pekerjaan di sektor perkebunan dan manufaktur
Malaysia bergantung pada jutaan pekerja asing, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal, untuk mengisi pekerjaan pabrik dan perkebunan yang dijauhi oleh penduduk setempat.
Tetapi meskipun mencabut pembekuan pandemi pada perekrutan pada bulan Februari, Malaysia belum melihat kembalinya pekerja secara signifikan di tengah lambatnya persetujuan pemerintah dan pembicaraan yang berlarut-larut dengan negara-negara sumber mengenai perlindungan karyawan.
Ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir atas perlakuan terhadap pekerja migran, dengan tujuh perusahaan Malaysia dilarang oleh Amerika Serikat dalam dua tahun terakhir atas apa yang digambarkan sebagai “kerja paksa”