Oleh : Laura Sardi
Tentu saja! Dengan segala “kesungguhan hati” dan “kepedulian” yang mereka miliki terhadap rakyat, anggota DPR yang baru dilantik pastinya akan bergegas menghapus Undang-Undang Cipta Kerja. Bagaimana tidak? Mereka kan sudah berjanji akan mendengarkan suara rakyat dan membela kepentingan mereka. Jadi, mari kita berharap dan percaya sepenuhnya bahwa janji-janji manis kampanye akan terwujud, seperti selalu, tanpa ada yang tertunda atau terselip “kepentingan lain.”
Namun, mari kita berpikir realistis sejenak. Bukankah UU Cipta Kerja adalah salah satu produk legislatif yang telah mereka perjuangkan dengan penuh “semangat”? Dengan segala kontroversi yang meliputi proses pembuatannya, mulai dari rapat-rapat yang tiba-tiba berlangsung di waktu istirahat hingga pengesahan cepat yang seolah-olah dikejar tenggat waktu, kita bisa melihat betapa besarnya “komitmen” para anggota dewan untuk mewujudkan undang-undang yang “pro-rakyat” ini.
Dan sekarang, setelah dilantik, kita tentu bisa mengharapkan bahwa mereka akan dengan mudah membatalkan UU Cipta Kerja, bukan? Karena tentu saja, kepentingan rakyat lebih penting daripada kepentingan investor dan pengusaha besar yang selama ini telah mendukung mereka, kan? Lagi pula, mereka pasti punya waktu luang di antara jadwal rapat paripurna dan kunjungan kerja untuk membahas ulang undang-undang ini.
Ah, betapa indahnya harapan. Tapi mari kita tidak terlalu cepat kecewa. Mungkin saja mereka akan melakukan revisi kecil di sana-sini untuk memperbaiki citra mereka, sambil memastikan substansi undang-undang tetap sama. Bagaimanapun, janji adalah janji, dan mereka tentu “berusaha keras” untuk memenuhinya.
Dan kita juga tahu pemilu baru-baru ini tidak hanya meninggalkan jejak dalam catatan sejarah politik Indonesia, tetapi juga menyingkap sebuah kenyataan pahit: wakil rakyat yang terpilih adalah buah dari sebuah proses politik yang brutal, penuh kepentingan pribadi, dan dinasti politik yang terus bertahan. Di tengah semboyan demokrasi, apa yang sebenarnya kita dapatkan? Sebuah pertunjukan politik yang lebih menyerupai panggung drama kekuasaan daripada pesta rakyat sejati.
Kita tentu tak asing dengan berbagai narasi pemilu yang diwarnai dengan politik uang, manipulasi, hingga serangan kampanye hitam. Para calon berlomba-lomba meraih kursi, tetapi sering kali dengan cara yang jauh dari etika politik yang sehat. Alih-alih menawarkan solusi atas masalah rakyat, mereka sibuk memainkan intrik untuk saling menjatuhkan. Dalam proses yang penuh tekanan ini, siapa yang benar-benar keluar sebagai pemenang? Rakyat? Tampaknya, bukan.
Bukan hanya brutal dalam persaingan, pemilu kali ini juga mempertegas keberadaan dinasti politik yang kian kokoh. Wajah-wajah lama kembali hadir di parlemen, tidak hanya karena popularitas mereka, tetapi juga berkat jaringan keluarga yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Seolah-olah politik adalah warisan yang bisa diteruskan dari generasi ke generasi. Nama-nama besar yang sudah kita kenal, baik di tingkat nasional maupun lokal, terus mendominasi. Ayah digantikan oleh anak, istri melanjutkan langkah suami, dan saudara menjadi penerus dinasti.
Fenomena ini tidak hanya mengkhawatirkan dari sisi etika politik, tetapi juga mengikis esensi demokrasi itu sendiri. Bukankah demokrasi seharusnya memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dan dipilih? Namun, dengan dinasti politik yang semakin kuat, pintu bagi orang-orang yang benar-benar ingin memperjuangkan kepentingan rakyat semakin sempit. Mereka yang tidak memiliki “darah biru” politik atau akses ke kekuatan finansial yang besar hanya bisa menonton dari pinggir lapangan, sementara panggung utama dikuasai oleh segelintir orang.
Tak heran jika banyak orang mulai kehilangan kepercayaan pada wakil rakyat. Ketika politik berubah menjadi arena pertempuran brutal dan tempat berkembang biaknya dinasti, siapa yang masih bisa berharap pada perubahan? Wakil rakyat yang seharusnya menjadi perpanjangan suara rakyat, kini tampak lebih seperti perpanjangan tangan keluarga mereka sendiri atau kelompok yang mendanai mereka.
Apa yang bisa diharapkan dari hasil pemilu kali ini? Harapan bahwa wakil-wakil kita akan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat tampak semakin samar di balik kabut politik uang dan dinasti. Rakyat mungkin memilih, tetapi dalam politik brutal ini, yang memegang kendali tetaplah mereka yang memiliki kekuatan dan jaringan.
Jadi, mampukah anggota DPR RI yang baru dilantik menghapus UU Cipta Kerja? Tentu saja bisa, asalkan kita semua masih percaya pada keajaiban di negeri ini.
Laura Sardi – Anggota FSPMI