Jakarta, KPonline – Kalangan serikat pekerja terus menyuarakan penolakan terhadap keberadaan PP 78/2015. Namun demikian, tuntutan pengusaha agar UU 13/2013 direvisi juga makin kencang terdengar. Terhadap dua tuntutan ini, kira-kira tuntutan siapa yang akan direalisasi?
Jika dilihat dari perkembangan yang ada, nampaknya dua-duanya akan disetujui. Masalahnya adalah, antara PP 78/2015 dan UU 13/2003 bukanlah perbandingan yang sepadan.
Diberitakan sejumlah media, saat ini rumusan formula penetapan upah minimum sedang dibahas. Tetapi pada saat yang sama, suara asosiasi pengusaha agar Undang-Undang Ketenagakerjaan dirombak juga makin kencang
Apabila revisi UU Ketenagakerjaan versi pengusaha dijalankan, bagi pekerja itu adalah sebuah petaka.
Kita tahu, revisi UU 13/2003 yang sedang diperjuangkan pengusaha salah satunya adalah mengenai pesangon yang dianggap besar. Mereka minta dihapuskan, atau setidak-tidaknya dikurangi.
Hal lain, revisi ini dimaksudkan agar labour market flexibility bisa bebas diterapkan di Indonesia.
Meskipun kalangan pekerja menganggap UU 13/2003 bukanlah undang-undang yang sempurna, namun kita tidak akan pernah rela jika revisi yang dilakukan akan membuatnya bertambah buruk.
Katakanlah dua kepentingan itu beradu. Melihat komposisi keanggotaan DPR RI hasil Pilpres 2019 ini, kira-kira kepentingan siapa yang akan dimenangkan?
Semacam Barter
Meskipun ditentang kaum buruh sejak awal kelahirannya, hingga saat ini PP 78/2015 masih dipertahankan oleh pemerintah.
Menjelang Pilpres 2019 diselenggarakan, barulah presiden menjanjikan revisi PP 78/2015.
Namun dalam waktu yang hampir bersamaan, pengusaha juga menyuarakan pentingnya melakukan revisi terhadap UU 13/2003.
Upaya untuk merevisi UU 13/2003 bukan kali ini saja dilakukan. Beberapa kali dicoba, dan selalu bisa digagalkan.
Kita khawatir, yang akan terjadi adalah barter.
“Oke tidak apa-apa PP 78/2015 direvisi, tapi kami juga minta UU 13/2003 dilakukan revisi.”
Ini hanya pikiran liar saja. Sesuatu yang tidak menutup kemungkinan akan dilakukan.